Hasil penelitian dari Kalter dan Rembar (1981) menyatakan bahwa 63% anak yang tumbuh tanpa adanya peran seorang ayah mengalami masalah psikologis seperti gelisah, suasana hati yang mudah berubah, fobia, dan depresi.
Katanya, anak harus menurut kepada orang tua. Jangan pernah membantah, membentak, atau berlaku tidak sopan kepada mereka. Turuti perintah mereka.
Beberapa waktu yang lalu muncul meme mengenai hubungan harmonis ayah dan anak perempuannya. Menggambarkan hubungan indah ayah dan anak perempuannya. Anehnya, aku seperti mati rasa. Semuanya indah. Salah satu yang menarik perhatianku adalah:
The reason why daughters love their Dad the most is because they know that there is at least one man out there who will never hurt her.
Serius? Aku cuma bisa tertawa getir. Bukan rasa sayang dan hormat yang kurasa, tapi marah. Sangat marah karena ternyata pria pertama yang membuatku patah hati adalah ayahku sendiri.
Ijinkan aku marah padamu, Ayah. Sekali ini saja.
Pertanyaan pertama, ke mana saja kau Ayah?
Terakhir aku melihatmu ketika aku lulus SMA. Ke mana saja kau selama 15 tahun terakhir? Tahukah apa yang kau lewati? Ulang tahunku selama 15 tahun tanpa kabar. Kau juga melewatkan wisuda sarjanaku. Seharusnya aku tidak heran. Kau sering menghilang tanpa kabar dan tiba-tiba muncul kembali. Kupikir kau akan kembali juga.
Ternyata tidak. Kau tidak juga kembali. Aku pun ragu apakah kau sebut aku dalam doamu.
Kau tahu apa akibatnya?
Bertahun-tahun aku menutupi fakta bahwa keluargaku tidak lengkap. Setiap ditanya kemana ayahku, aku hanya bisa membual, Ayahku bekerja di luar kota.
Kau juga sukses membuatku berpikir negatif mengenai institusi pernikahan. Aku sempat berpikir bahwa pernikahan adalah ilusi cerita Cinderella yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Namun hal yang paling membuatku sedih adalah bertahun-tahun aku merasa diriku tidak pantas dicintai sebagai seorang anak dan seorang perempuan. Bagaimana aku bisa berpikir ada lelaki di luar sana mencintaiku jika aku saja dicampakkan oleh ayahku?
Kujalani hubungan tidak sehat dimana aku memanipulasi pasanganku untuk tunduk dan mengikuti semua kemauanku. Aku menjadi sosok yang dimanja dan menciptakan ketakutan pada pasanganku. Aku pun dengan gampang mencampakkan mereka dengan alasan sederhana, bosan. Kupikir itu pembalasan dendamku padamu, Ayah.
Cukup ironis, kan? Bahkan nasihat keluarga tidak mampu mengubah kebekuan hatiku karena mereka tidak pernah berada dalam posisi keluarga broken home.
Sampai aku bertemu pasanganku saat ini.
Sama sepertiku, dia mengerti sekali akan getirnya perceraian. Dia dengarkan keluh kesahku. Kami pun sama-sama belajar untuk mencintai orang lain. Pelan-pelan dia kembalikan rasa percaya diriku untuk menjadi seorang perempuan yang pantas dicintai.
Berdua, kami belajar memaafkan. Mulai dari memaafkan diri sendiri atas pemikiran bodoh dan konyol kami di masa lalu. Memaafkan orang sekitar kami yang mungkin tidak tahu kondisi kami dan bertindak konyol kepada kami (Kapan nikah? atau Kok masih sendiri? adalah hal paling umum). It takes two to tango.
Dari situ, aku mencoba untuk memaafkanmu, Ayah. Perjalanan itu masih panjang karena aku pun belum rela minta maaf karena telah menjadi putri yang tidak berbakti padamu.
Semoga kau selalu menyebut namaku dalam doamu, Ayah.
Seperti aku yang selalu menyebutmu dalam doaku..
Foto: pixabay.com/Takmeomeo