Hai Sisters!
Namaku Nasta Rofika, founder ULUR WIJI. Seorang Engineer dibidang lingkungan yang kecemplung dalam bidang fashion. Catatan ini adalah sepenggal kisahku dalam mendevelop Wirausaha Sosial dibidang eco-fashion batik (tulis, cap & jumputan) dengan pewarna alami yang ramah lingkungan di Desa Pandankrajan Kab. Mojokerto. Usaha ini aku beri nama ULUR WIJI yang mempunyai mimpi “DARI DESA BISA BERDAYA”. Ceritanya cukup panjang, karena untuk menemukan nama Ulur Wiji bagiku adalah perjalanan spiritual dalam menemukan jalan hidup.
Awal tahun 2019 aku memutuskan menghentikan usahaku dibidang fashion yang telah kumulai sejak lima tahun silam saat masih bekerja sebagai teller salah satu Bank BUMN. Ada kegamangan dalam hatiku ketika aku terus menekuni bidang ini. Pasalnya, dengan produksi yang belum terlalu besar sampah yang dihasilkan dari sisa produksi itu cukup banyak dan mengganggu pikiranku. Usahaku ini adalah produksi hijab-hijab kekinian yang kala itu marak dan mulai menggeliat. Aku melabeli usahaku ini dengan namaku “NASTA” dengan harapan suatu saat nama ini akan sebesar nama Jenahara dan beberapa designer terkenal Indonesia lainnya. Tapi ternyata membesarkannya tak semudah yang dibayangkan. Bisa dibilang waktu itu usaha hijabku ini stuck dan segitu-segitu aja. Sambil terus mengevaluasi dari aspek mana lagi usaha ini harus aku kembangkan, akhirnya aku menyerah dan kuputuskan untuk menghentikan produksinya.
Pic: Usaha pertamaku produksi hijab ready to wear Merek “NASTA”
Sambil terus merenungi kegagalan usahaku ini, aku mulai berefleksi. Memikirkan kembali makna dan tujuan hidup. Aku adalah seorang engineer bidang lingkungan, sementara di sisi lain aku juga pernah mengenyam pendidikan fashion design. Aku berpikir bagaimana mengkombinasikan kedua kompetensi yang telah aku kuasai ini. Saat itu aku memandangi beberapa hijabku yang belum laku, dan juga tumpukan sampah sisa produksinya. Aku baru baru tersadar bahwa ternyata kain yang selama ini kugunakan kebanyakan terbuat dari bahan polyester yang butuh waktu sangat lama agar bisa diurai oleh alam. Sebelumnya aku tidak pernah memikirkannya sampai sedalam ini. Sekitar setengah tahun aku berkecamuk dalam kegalauan. Sambil terus mencari akhirnya tercetuslah ide awal usaha baru dengan nama ULUR WIJI. Diambil dari bahasa jawa “ULUR” berarti menanam, dan “WIJI” berarti benih. Bagiku filosofinya adalah menanam benih kebaikan. Berbeda dari nama sebelumnya yang menggunakan namaku, kali ini aku ingin orang membeli produkku karena karya, tanpa perlu tahu siapa orang di baliknya. Jujur aku masih merasa insecure dari usaha pertama yang gagal itu, aku pernah ada di fase titik segelisah dan seminder itu. Nama baru sudah ada, tetapi aku belum tau produk apa yang akan kubuat. Hasil dari berefleksi, aku hanya berpikir produk ini adalah kombinasi antara fashion dan lingkungan atau eco-fashion.
Awalnya product eco-fashion yang kupelajari adalah ecoprint, yaitu teknik mentransfer warna dari dedaunan kedalam kain. Aku belajar secara otodidak, dan sempat mengikuti workshop. Setelah mencoba selama tiga bulan, aku merasa bahwa ecoprint ini tidak sesuai dengan karakterku. Aku mulai mencari alternatif produk eco-fashion yang lain. Dari proses itu aku menemukan potensi pada batik yang menggunakan pewarna alami. Aku mulai membaca artikel tentang batik dan pewarna alami dan juga melihat video-video di Youtube. Prosesnya sedikit lebih rumit, sampai akhirnya aku memutuskan harus belajar secara langsung dari ahlinya agar benar-benar mengerti bagaimana proses pembuatannya.
Sedikit kendala waktu itu karena ternyata untuk belajar batik tulis dan pewarna alami cukup mahal. Aku tidak punya cukup tabungan dan juga suami belum gajian. Aku menelpon Lisa, sahabat baikku ketika kuliah. Dialah yang menjadi pahlawanku. Berbekal pinjaman darinya senilai Rp. 2.500.000,- aku dan suami naik kereta dari Bekasi ke Semarang untuk belajar batik dan pewarna alami lebih dalam. Di sana aku membagi tugas, aku bagian belajar batik dan suami belajar proses pewarna alami dari tumbuhan. Tiga hari dua malam di Semarang kurasa cukup sebagai pengantar dalam mempelajari batik. Selanjutnya aku dengan tekun mencobanya di rumah sampai menjadi mahir. Meskipun sama dibidang fashion, tetapi jika dibandingkan dengan usahaku sebelumnya aku tidak pernah merasa seyakin dan semenyenangkan ketika bertemu dengan batik dan juga pewarna alami ini. Mengapa? karena satu alasanku, proses batik sama dengan menggambar yang merupakan hobiku. Sedari kecil aku memang hobi sekali menggambar tangan, bahkan dulu sempat beberapa kali mengikuti dan memenangkan lomba tingkat sekolah dan juga kabupaten.
Pic: Keberangkatanku ke Semarang untuk belajar batik & pewarna alami.
Awal tahun 2020 aku pindah ke Kalimantan Timur, mengikuti suami yang pindah tempat kerja. Tepatnya di Desa Labangka, di kabupaten yang katanya mau jadi ibu kota negara yang baru. Di sinilah Ulur Wiji benar-benar dimulai. Aku merekrut satu orang artisans dari anak muda sekitar untuk diajari membatik. Namanya Mbak Irna, dia belajar dari tidak tahu apa-apa mengenai batik sampai menjadi sangat mahir. Di sinilah aku melakukan riset sambil proses produksi, bagaimana nyanting yang benar, mewarna dengan pewarna alami yang bagus, awet dan tidak luntur. Tugasku adalah membuat design pola batik, kemudian bersama Mbak Irna nyanting dan suami dibagian pewarnaan alami. Disana selain menggunakan material pewarna yang biasanya kupakai seperti indigofera, mahoni dan lainnya, aku juga mengeskplor pewarna dari tanaman sawit yang banyak kutemukan di sekitar rumah.
Enam bulan awal aku berjibaku dengan masalah warna yang tidak rata, mudah luntur dan tidak layak jual. Aku sempat mengalami stress berat saat itu. Fase terendah saat trial produk ini adalah aku pernah membakar semua kain hasil trial ini di belakang rumah. Sambil menangis aku merundung diriku sendiri, bahwa aku tidak bisa dan tidak mampu melakukan semua ini.
Pic: Artisans Ulur Wiji di Desa Labangka Kalimantan Timur
Dari berbagai kegagalan dalam fase product development itu, perlahan aku mulai menemukan berbagai solusi untuk memperbaikinya. Bermodal nekat, aku memberanikan diri untuk launching produk pertamaku melalui Instagram. Aku namai produk itu “Senja Labangka”. Scarf cantik terbuat dari batik tulis & pewarna alami ekstraksi dari kulit kayu mahoni yang menghasilkan warna jingga senja. Motifnya kala itu mengambil siluet kepala rusa yang merupakan ciri khas Kab. Penajam Paser Utara. Rasa haru aku rasakan, setelah berjuang cukup lama untuk menciptakan produk fashion ramah lingkungan akhirnya bisa terealisasi.
Akan tetapi, rasa bahagiaku ini tidak bertahan lama. Sampai hari ketiga setelah launching bahkan tidak satupun orang yang membeli karya terhebatku ini. Produk fashion yang kukira bisa merubah dunia karena ramah lingkungan. Kita tahu bahwa faktanya sampah terbesar kedua di dunia ini berasal dari industri fashion, dan aku punya solusinya. Tapi kenapa bahkan tidak seorang pun mau membeli produk Ulur Wiji ini? Lagi-lagi aku merundung diriku, aku tidak becus, tidak berbakat jualan dan segala sumpah serapah kusampaikan pada diriku atas kegagalan ini.
Pic: Produk pertama Ulur Wiji - Senja Labangka
Setelah semingguan berjalan, aku mulai lebih rajin upload proses batik di story Instagram dan juga Whatsapp. Entah karena kebetulan atau apa aku tidak tahu, tiba-tiba ada temanku yang bertanya:
"Nasta, kamu ini ngapain sih? Bikin apa?".
Mataku terbelalak dan juga aku merasa tertampar, jadi ini masalahnya. Bahkan teman terdekatku sendiri tidak tahu apa yang aku kerjakan, apalagi orang lain. Semenjak saat itu aku fokus pada develop produk selanjutnya dan edukasi. Edisi senja labangka kuhabiskan untuk endorse, give away, untuk mengedukasi calon customer melalui media Instagram dan juga website.
Edisi kedua aku mengeluarkan motif Anggrek dan Petals, Edisi ketiga Hutan, Ocean dan seterusnya, semua koleksi ini bisa dilihat di katalog Instagram. Perlahan tapi pasti Ulur Wiji mulai dikenal oleh konsumen dan menghasilkan penjualan yang lumayan memuaskan.
Disaat aku melihat Ulur Wiji yang mulai bertumbuh hal diluar dugaan terjadi. Orang tua di Mojokerto menelponku dan berkata: “Nasta tolong pulanglah, membatik disini saja, banyak tetanggamu, saudaramu yang nganggur karena pandemic ini. Insya Allah usahamu akan maju dan berhasil, Ibu akan bantu dengan do’a”. Seketika aku berfikir keras dengan permintaan orang tua tersebut. Hingga akhirnya suami memutuskan resign dari pekerjaannya dan pulang ke Mojokerto pada maret 2021.
Aku memulai kembali Ulur Wiji dengan semangat baru, dengan keyakinan dan ridho dari orang tua. Aku merekrut artisans dari anak muda, saudara dan juga tetangga di Desa Pandankrajan Mojokerto. Dalam perjalanannya Ulur Wiji memantapkan diri untuk lebih concern terhadap tiga nilai utama yaitu Preserving Culture melalui batik, Eco-friendly Product dengan hanya menggunakan kain dan pewarna alami dari tumbuhan, dan Youth Empowerment atau pemberdayaan pemuda utamanya perempuan. Mimpi Ulur Wiji adalah DARI DESA BISA BERDAYA, dengan keyakinan bahwa anak muda di Desa juga mempunyai kesempatan yang sama, dan bisa menciptakan produk yang bisa menjangkau dunia.
Pic: Artisans Ulur Wiji di workshop Desa Pandankrajan Mojokerto
Sekarang aku berusaha mengelola Ulur Wiji dengan lebih baik. Aku bisa menjangkau customer yang rata-rata adalah milenial pecinta culture dan lingkungan di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, produk Ulur Wiji juga mulai diekspor ke manca negara seperti Canada, Hawaii, Jepang, dan Singapura. Semua penjualan yang aku lakukan ini sepenuhnya melalui online melalui Instagram dan juga marketplace. Rencana, dalam satu tahun kedepan ada beberapa hal yang perlu diperbaiki lagi agar bisa semakin berkembang. Diantaranya aku membutuhkan tempat produksi yang lebih layak, utamanya untuk pewarnaan karena membutuhkan space yang lebih luas. Aku juga perlu memberikan edukasi produk yang lebih masif kepada calon customer agar mereka semakin aware tentang pentingnya menggunakan produk fashion yang tidak merusak lingkungan sekitar baik melalui website maupun media sosial. Selain itu juga aku ingin menambah chanel penjualan melalui offline store di Alun-Alun Indonesia di Bali dan Sarinah Jakarta.
Pic: Produk Ulur Wiji dipakae oleh Ibu Angela Tanoe Wamenparekraf
Aku mengikuti #KMP2023 program Sisternet Kompetisi Modal Pintar 2023 ini agar bisa semakin #BeraniNaikKelas dan berharap bisa menjadi juaranya. Ulur Wiji harus bisa memberikan dampak yang lebih besar dengan semakin banyak memberdayakan anak muda. Jika nanti aku bisa lolos dan terpilih menjadi salah satu yang bisa ikut rangkaian webinar class dan telegram discussion, maka ilmu itu pasti sangat berguna untuk menjadikan Ulur Wiji semakin besar. Dengan modal yang didapatkan aku akan merealisasikan kebutuhan pengembangan Ulur Wiji diantaranya:
- Sewa lahan kosong Rp. 3.000.000,- (untuk proses pewarnaan)
- Stock produksi ready to wear Rp. 18.000.000,- (masing-masing 12 pcs di Sarinah Jakarta, Alun - alun Indonesia Jakarta & Bali)
- Membangun website profesional Rp. 5.000.000,- (Paket Shopify satu tahun)
- Endorse influencer Rp. 6.000.000,- (per dua bulan dengan budget 1jt per 2 bulan)
- IG Ads Rp. 6.000.000,- (Rp. 500 rb per bulan selama satu tahun)
Total biaya yang aku butuhkan selama satu tahun adalah: Rp. 38.000.000,-
Aku percaya bahwa benih kebaikan yang aku tanam melalui Ulur Wiji ini akan berdampak positif bagi Desa Pandankrajan. Saat ini aku bekerja bersama dengan delapan Artisans muda perempuan dan juga bermitra dengan enam penjahit. Aku bermimpi dalam tiga tahun kedepan setidaknya bisa memberdayakan lima puluh artisans lagi, sehingga mimpi DARI DESA BISA BERDAYA bisa benar-benar terealisasi.
#KMP2023