Hai Sisters! Pernahkah kamu melihat terjadinya pelecehan seksual oleh orang nggak dikenal di tempat umum? Seperti kasus-kasus pelecehan gitu sering banget terjadi. Ada yang terjadi di ruang publik seperti alun-alun kota, transportasi umum, sekolah atau kampus, pusat perbelanjaan, bahkan tempat kerja.
Tapi coba deh perhatiin reaksi orang waktu tahu ada pelecehan seksual. Nggak jarang kan yang komentar:
“Duh, pasti ceweknya pakai baju seksi.”
Atau
“Makanya jangan jalan malam-malam sendirian.”
Sudah jadi korban, disalahkan pula!
Untuk tahu bener nggak, sih, asumsi kebanyakan orang soal pelecehan seksual di ruang publik, Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia telah membuat Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik di akhir tahun 2018 selama 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).
Survei yang diikuti lebih dari 62 ribu orang ini bermaksud agar kita lebih paham tentang bagaimana pelecehan seksual di ruang publik terjadi, perspektif korban dan orang yang menyaksikan pelecehan, serta mengecek kebenaran mitos-mitos tentang pelecehan seksual di ruang publik seperti jenis pakaian korban dan waktu terjadinya pelecehan.
Ternyata banyak mitos yang keliru! Selama ini korban pelecehan seksual banyak disalahkan karena dianggap ‘mengundang’ aksi pelecehan dengan memakai baju seksi atau jalan sendiri di malam hari. Tapi itu semua bisa dibantah dengan hasil survei ini yang jelas menunjukkan bahwa perempuan bercadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari.
Menurut hasil survei, mayoritas korban pelecehan tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual melainkan memakai celana/rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%). Hasil survei juga menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%).
Berbeda dengan mitos, survei ini juga membuktikan bahwa pelecehan seksual tidak selalu dialami oleh perempuan, namun juga laki-laki. Karena itu isu mengenai pelecehan seksual di ruang publik ini tidak hanya menjadi kepedulian perempuan, tapi juga laki-laki. Apalagi untuk orang-orang yang telah memiliki anak karena hasil survei ini menunjukkan bahwa satu dari dua korban mengalami pelecehan seksual saat masih di bawah umur. Mayoritas korban mengaku mengalami pelecehan secara verbal seperti komentar atas tubuh (60%), fisik seperti disentuh (24%) dan visual seperti main mata (15%).
Selain itu, salah satu temuan penting dari survei ini adalah reaksi para saksi (bystander) saat terjadi pelecehan seksual di ruang publik. Korban mengaku banyak saksi yang mengabaikan (40%) dan bahkan menyalahkan korban (8%) ketika pelecehan terjadi. Namun banyak pula yang membela korban (22%) dan berusaha menenangkan korban (15%) setelah kejadian. Sebanyak 92% korban pun mengaku merasa terbantu setelah dibela.
Jadi, pelecehan seksual ini murni terjadi 100% karena niat pelaku. Tidak ada korban yang “mengundang” untuk dilecehkan. Nggak seharusnya korban pelecehan seksual disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain.
Sudah saatnya kita ubah pola pikir kita yang malah sering melakukan viktimisasi korban, Sisters. Yuk sama-sama #LawanPelecehan. Karena kalau kita tidak bertindak, pelecehan seksual ini akan terus terjadi dan menghasilkan lebih banyak korban yang bisa jadi adalah orang yang penting dalam hidup kita dan #JadiLebihBaik.
Ini hasil lengkap survei pelecehan seksual di ruang publiknya oleh Tim Change.org Indonesia. Yuk, kita bantu sebar infonya ya agar lebih banyak orang yang aware dengan kasus pelecehan seksual dan sigap membela korban saat pelecehan seksual terjadi.
Info: Tim Change.org Indonesia