Perempuan mana yang tidak menyukai perawatan tubuh?
Saya rasa hampir semua perempuan menikmati sensasi treatment di salon, spa atau wellness centre. Kegemaran saya merawat tubuh inilah yang mengawali bisnis spa yang saya rintis tiga tahun silam. Dengan modal pinjaman, saya mengalihfungsikan lantai 1 rumah kami menjadi ruang treatment. Bukan hal yang mudah awalnya bagi saya yang seorang singlemom untuk merintis usaha sambil mengasuh tiga orang anak. Namun seiring berjalannya waktu, dengan terus belajar dan melakukan improvement, perlahan usaha ini menampakkan hasil.
Segmen pasar Gardenia Self Pampering adalah wisatawan mancanegara, baik walk-in customer maupun dengan menjalin kerjasama pada vila-vila di daerah Legian – Seminyak, dimana lokasi usaha saya berada. Namun pandemi Covid-19 telah merubah segala hal yang selama ini sudah berjalan lancar, mengacaukan rencana-rencana strategis bisnis saya dan juga banyak bisnis yang lain. Pariwisata internasional mati suri, begitupun geliat bisnis di Bali. Sudah hampir setahun spa saya terpaksa tutup, selain karena tidak ada wisatawan yang berkunjung, saya juga harus memperhatikan aspek kesehatan, keamanan dan biaya operasional jika kami tetap buka.
Namun hidup mesti tetap berjalan. Ada tagihan yang harus diselesaikan, ada delapan orang tenaga kerja perempuan yang tetap butuh nafkah. Pandemi berkepanjangan ini tidak bisa ditunggu sampai reda, saya harus memutar otak, mencari berbagai cara untuk bertahan, salah satunya dengan pivot bisnis. Spa kami sekarang melayani home care treatment. Staf kami bisa datang ke rumah atau vila customer, dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Perlahan mulai ada perkembangan meskipun masih jauh sekali dari penghasilan normal sebelum pandemi, tetapi paling tidak karyawan saya masih bisa mendapat uang makan.
Saya juga tidak bisa hanya berdiam diri. Untungnya, karena pandemi juga, saya jadi punya banyak waktu di rumah, untuk bereksplorasi, menambah ilmu dan skill sambil mencari beberapa peluang baru. Saya mengikuti workshop pembuatan sabun dengan bahan alami, juga berbagai produk perawatan badan (body care) seperti body scrub, face mask, dan shampoo bar. Saya bisa menjual produk tersebut dengan cara online, sehingga tidak perlu ada kontak fisik yang intens. Tetapi untuk menghasilkan produk-produk yang alami dan berkualitas dibutuhkan bahan baku organik dan berkualitas tinggi. Untuk peralatan dan bahannya saja, estimasi saya membutuhkan dana tidak kurang dari 20 juta rupiah. Belum lagi biaya kemasan yang ramah lingkungan, budget promosi, dan lainnya. Tentu bukan jumlah yang kecil di masa krisis ini.
Untung saja, ada secercah harapan datang. Dari komunitas Single Moms Indonesia (SMI) saya mendapat info mengenai kompetisi #ModalPintar dari Sisternet dan Bank OCBC NISP. Sebuah program untuk pengusaha perempuan agar dapat mengembangkan bisnisnya. Tentu saja, kesempatan ini tidak akan saya sia-siakan. Bagaimana pun hasilnya, itu urusan nanti, yang pasti saya berusaha semaksimal mungkin.
Sejak awal berdiri, usaha saya memang memiliki concern pada penghargaan terhadap diri sendiri, terhadap tubuh dan jiwa terkhusus bagi perempuan. Bagaimana sebuah treatment kecantikan seyogyanya merupakan sebuah hak yang layak kita peroleh setelah melakukan rutinitas dan perjuangan hidup yang melelahkan, bukannya sebuah kewajiban untuk menutupi kekurangan. Saya prihatin dengan masifnya industri kecantikan yang menjual ketakutan dan insecurity. Takut keriput, takut kulit kusam, takut kulit gelap, jerawat, badan berlemak, rambut rusak, dan banyak ketakutan lain yang obatnya hanya satu, yaitu produk yang mereka tawarkan.
Dari sisi bisnis, hal tersebut memang tidak bisa disalahkan. Namun sangat saya sayangkan karena ternyata berbagai iklan dari produk dan layanan kecantikan justru menimbulkan paradigma lain yang tanpa disadari telah merenggut salah satu harta kita yang paling penting, yaitu kepercayaan diri. Narasi yang dibangun dari iklan perawatan kecantikan justru banyak yang menyempitkan definisi cantik itu sendiri menjadi lebih terbatas pada spesifikasi tertentu.
Di Gardenia Self Pampering, saya berusaha mengkampanyekan the truly beauty of us, tentang bagaimana sebenarnya kita adalah makhluk yang berharga dan sudah tercipta cantik apa adanya. Dengan treatment facial misalnya, saya mengharapkan customer menghargai kebersihan dan kesehatan kulit wajahnya, dengan menggunakan produk natural dari brand yang sudah teruji, dengan masker wajah yang terbuat dari bahan alami, sehingga bagaimanapun bentuk wajah dan warna kulitnya, mereka tetap percaya diri karena kulitnya sehat dan aman dari iritasi.
Dengan mencoba treatment foot reflexology, foot spa ataupun pedicure, customer tidak hanya dapat merasakan sensasi relaks dan melepas lelah, tapi juga merupakan bentuk penghargaan customer kami pada dirinya sendiri. Pada kakinya, yang sudah sedemikian kuat menopang keseluruhan anggota tubuhnya, yang telah mengantar mereka beraktivitas dan mengunjungi tempat-tempat terindah.
Kami berusaha memberikan pelayanan terbaik dengan produk yang aman dan sehat bagi customer bahkan hingga ke ujung kuku kaki mereka. Setiap inci dari tubuh customer kami merupakan prioritas utama, oleh karenanya mereka layak mendapat pelayanan dan produk excellent, sebagai wujud apresiasi kami pada mereka, sehingga mereka sadar betapa berharga dirinya dan betapa kebahagiaan mereka merupakan hal yang penting.
Selain menyerukan pentingnya menghargai dan mencintai diri sendiri, sejak awal dibuka, saya selalu berusaha menerapkan bisnis yang menjaga keberlangsungan dan kelestarian alam. Mencintai diri sendiri adalah hal yang mustahil tanpa dibarengi dengan tindakan menjaga alam, karena sebagaimana kita ketahui bahwa bumi masih menjadi satu-satunya planet yang bisa dihuni manusia.
Warna hijau dalam logo Gardenia Self Pampering menyiratkan bahwa dalam berbisnis dan kehidupan sehari-hari saya berusaha untuk menerapkan konsep green living yaitu hidup ramah lingkungan. Bisnis ini tidak hanya bertujuan untuk memberi manfaat bagi konsumen, staf dan tentu saja menyejahterakan saya sebagai pemilik, tetapi juga sebisa mungkin tidak membawa dampak buruk secara makro terhadap alam.
Saya menggunakan bahan-bahan organik yang disediakan oleh alam (beberapa bisa dimakan), mengolahnya dengan cinta, memprioritaskan kesehatan customer, menggunakan brand lokal yang tersertifikasi organik dan natural, serta menggunakan perlengkapan, peralatan, dan kemasan yang ramah bumi.
Di rumah yang juga menjadi lokasi usaha, saya mengupayakan agar komposisi luas bangunan dengan taman selalu seimbang, sehingga kami punya cukup lahan untuk resapan dan juga berkebun. Saya juga menjadi nasabah bank sampah yang secara regular mengumpulkan sampah-sampah plastik yang tidak terelakkan.
Kamipun menjadi mitra dari Refill My Bottle, sebuah movement yang membudayakan masyarakat untuk membawa botol minum pribadi (tumbler), lalu kami menyediakan air mineral kemasan galon untuk isi ulang bagi mereka yang kebetulan lewat di lokasi spa kami secara gratis. Program ini berupaya mengurangi penggunaan single-use plastic terutama oleh wisatawan pejalan kaki.
Sabun-sabun yang saya produksi juga tidak menggunakan bahan kimia, vegan-friendly dan bebas dari minyak kelapa sawit. Sabun mandi berbahan kimia yang banyak beredar di pasaran pada umumnya mengandung detergen (SLS) dan paraben. Selain berpotensi merusak kulit, secara akumulatif air bilasan sabun tersebut dapat merusak sanitasi dan ekosistem biota yang hidup pada aliran air.
Begitu pula dengan scrub pada sabun atau body scrub buatan pabrik pada umumnya mengandung micro-plastic yang bisa terbawa air sungai dan akhirnya bermuara ke laut. Hal ini tentu saja berbahaya untuk keberlanjutan perairan di Indonesia. Maka melalui produk-produk ini saya ingin menciptakan awareness kepada pada customer dan pengikut akun sosial media kami tentang betapa pentingnya menjaga kelestraian lingkungan. Bahwa jiwa kita memiliki dua rumah, yaitu tubuh dan bumi, jadi sepantasnyalah kita mencintai dan menjaga keduanya.