Sisters, ada sebuah penelitian yang menyebutkan tentang adanya satu fenomena efek jangka panjang infeksi yang bertahan, atau mengalami gejala lebih lama pada pasien yang telah dinyatakan sembuh dari penyakit yang disebabkan oleh Covid-19. Fenomena ini dinamakan "long COVID".
Yuk, cek fakta-fakta yang dilansir dari Idntimes berikut ini!
Long COVID adalah semacam fenomena masih munculnya efek infeksi atau gejala COVID-19 berkepanjangan usai dinyatakan sembuh
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa orang-orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 perlu mengisolasi diri hingga 10 hari lamanya. Ya, COVID-19 umumnya bisa hilang dari tubuh dalam jangka waktu tersebut dan ini sudah disebutkan di beberapa jurnal medis.
Namun, nyatanya COVID-19 tidak bisa diatasi semudah itu. Ada laporan bahwa pasien yang sudah dinyatakan sembuh masih melaporkan efek infeksi yang masih bertahan atau masih merasakan gejala penyakit yang berkepanjangan. Inilah yang disebut sebagai “long COVID”.
75-80 persen pasien COVID-19 mengalami hal ini
Di media sosial seperti Twitter, banyak cuitan dari mantan pasien yang menceritakan dampaknya walaupun sudah berbulan-bulan sembuh. Aktris asal Amerika Serikat, Alyssa Milano, termasuk satu di antaranya. Alyssa buka-bukaan tentang kondisinya usai infeksi COVID-19. Lewat sebuah video, dia menunjukkan dirinya mengalami kerontokan rambut yang parah sebagai dampak dari infeksi coronavirus.
Mengutip CBS News, dia bukan satu-satunya orang yang melaporkan rambut rontok usai terinfeksi COVID-19. Walaupun rambut rontok bukan gejala "resmi", tetapi ada survei yang menemukan bahwa 26 persen orang dengan gejala jangka panjang COVID-19 mengalami rambut rontok.
Survei tersebut dilakukan oleh Survivor Corps, grup yang membantu penyintas COVID-19. Dalam survei tersebut, 1.500 pasien melaporkan gejala tak biasa pasca infeksi, termasuk kenaikan berat badan, telinga tersumbat, dan kerontokan rambut.
Dilansir Sky News, 81 dari 110 pasien COVID-19 yang dirawat di Southmead Hospital, Bristol, Inggris, melaporkan masih mengalami gejala sulit bernapas, nyeri otot, hingga kelelahan walau sudah dinyatakan sembuh selama 12 minggu. Data tersebut membuat para ahli yakin jika angka kejadian fenomena long COVID ini di atas 75 persen.
Data dari aplikasi COVID Symptom Study yang dibuat oleh King's College London, Inggris, menyebut bahwa setidaknya 1 dari 20 pasien merasakan gejala berkepanjangan tersebut.
Di Italia, seperti dilansir The Independent, ada laporan 9 dari 10 pasien di Roma masih merasakan gejala yang bertahan dalam kurun waktu 60 hari pasca infeksi.
Gejala long COVID serupa dengan COVID-19, namun berbeda-beda pada tiap orang
Dalam fenomena “long-COVID”, pasien melaporkan gejala yang sebelumnya pernah dirasakan saat masih terinfeksi. Beberapa gejalanya meliputi kelelahan, mudah kehabisan napas, sakit otot dan sendi, susah konsentrasi, depresi, hingga kabut otak (brain fog).
Malah, beberapa laporan dokter kepada British Medical Association, ada yang mengeluhkan masih mengalami anosmia atau hilangnya kemampuan mencium bau.
Ada sebuah studi yang mencoba meneliti sekelompok mantan penderita COVID-19 yang berhasil sembuh di Roma. Studi yang berjudul “Persistent Symptoms in Patients After Acute COVID-19” dalam jurnal "JAMA Network" yang terbit bulan Juli lalu menemukan bahwa 44,1 persen dari 143 pasien yang melaporkan kualitas hidupnya menurun. Penurunan tersebut ditandai dengan kelelahan tak berkesudahan (53,1 persen), susah bernapas (43,4 persen), nyeri sendi (27,3 persen), dan sakit di dada (21,7 persen).
COVID-19 diyakini tidak hanya menginfeksi paru-paru
COVID-19 disebut tidak cuma menginfeksi paru-paru, tetapi juga menekan sistem imun. Berdasarkan studi berjudul “Dysregulation of Immune Response in Patients With Coronavirus 2019 (COVID-19) in Wuhan, China”, yang terbit dalam jurnal "Clinical Infectious Diseases" pada awal Agustus lalu, ditemukan bahwa virus SARS-CoV-2 membuat perubahan pada sistem imun. Akibatnya, virus dapat berkembang, menyebabkan peningkatan sitokin yang besar, atau disebut sebagai badai sitokin (reaksi berlebih sistem kekebalan tubuh), dan mengakibatkan peradangan.
Melihat pola tersebut, besar kemungkinan bahwa gejala long-COVID bisa tetap ada karena memang sistem imun yang belum pulih benar. Meski demikian, butuh penelitian lebih lanjut untuk benar-benar memahami fenomena tersebut.
Efek long COVID membuat banyak penyintas mengalami depresi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, berbagai gejala “long COVID” salah satunya adalah depresi. Nah, depresi ini tak hanya memengaruhi kehidupan mantan pasien, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, Sisters.
Dilansir The BMJ Opinion, Paul Garder, profesor penyakit menular dari Liverpool School of Tropical Medicine, Inggris, mendiskusikan pengalamannya ketika terinfeksi COVID-19. Dia mengatakan bahwa “long COVID” bisa membuat seseorang menjadi ragu akan dirinya. Dalam arti, apakah dia akan benar-benar sembuh, apakah nantinya akan tertular lagi, dan sebagainya, yang mana perlahan ini akan memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Dikatakan juga bahwa “long COVID” ini juga bisa dialami oleh pasien yang ketika terinfeksi hanya mengalami gejala ringan, misalnya demam dan sesak napas.
COVID-19 bukanlah satu-satunya penyakit yang memberikan dampak jangka waktu lama
Sebetulnya para ahli tidak kaget dengan “long COVID”. Pasalnya, beberapa penyakit juga memiliki efek serupa. Sebagai contoh adalah wabah SARS pada tahun 2002-2004 lalu.
Berdasarkan studi di Kanada dalam jurnal "BMC Neurology" tahun 2011, disebutkan bahwa mantan pasien SARS mengalami sulit tidur. Tak hanya itu, mereka juga mengalami kelelahan parah, depresi, hingga nyeri otot. Bahkan, beberapa di antaranya sampai harus mengubah gaya hidup termasuk pekerjaannya.
Jadi, kamu harus lebih waspada lagi, nih, Sisters. Karena banyak sekali hal-hal tentang COVID-19 yang masih menjadi misteri dan belum pasti. Berbagai penelitian terus dilakukan, termasuk tentang efek atau gejala jangka panjang pada pasien yang sudah dinyatakan sembuh, alias long COVID.
Jangan berhenti menerapkan pola hidup sehat, selalu pakai masker saat di luar rumah (termasuk saat sakit atau berada di sekitar orang sakit), jaga kebersihan diri, kelola stres dengan benar, dan jangan kelayapan jika bukan urusan penting. Bila kita semua kompak dan disiplin melakukannya, niscaya rantai penulasan COVID-19 akan terputus, Sisters.