Salah satu perkembangan emosi yang pertama dipelajari oleh anak kecil adalah tantrum dan meltdown.
Banyak orangtua yang berpikir bahwa tantrum dan meltdown adalah hal yang sama. Memang kedua emosi ini bisa terlihat sangat mirip. Tapi jika dilihat lebih baik, meltdown sangat berbeda dari tantrum, lho. Simak, yuk, perbedaannya!
Tantrum
Pada dasarnya, tantrum lebih ke emosi marah. Emosi ini keluarkan anak ketika mereka frustasi karena tidak mendapatkan hal yang dia inginkan. Anak usia balita ke bawah lebih sering tantrum. Hal itu karena anak tidak bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan. Emosi tantrum ini pelan-pelan dapat berkurang ketika perbendaharaan kata anak sudah mulai banyak.
Contoh kasusnya, jika anak menginginkan ingin terus bermain dan menolak pulang dari mal. Hanya saja orangtua menolak dan terus mengajaknya pulang. Yang dilakukan anak tantrum, dia akan marah, berteriak, menangis, dan memukul-mukul sampai dia mendapatkan apa yang dimau. Bahkan mungkin sekali di tengah-tengah emosinya, anak berhenti dan memastikan orang sekitarnya memperhatikannya.
Pertanyaannya, mungkin nggak anak balita tidak mengalami tantrum? Mengingat perbendaharaan kata anak yang terbatas, sangat kecil kemungkinan anak balita tidak tantrum. Pasti ada masa-masa di mana anak frustasi karena tidak tahu apa yang harus dikatakan, dan pada akhirnya memilih mengandalkan emosinya.
Meltdown
Sering dikira sama dengan tantrum, tapi ternyata meltdown adalah suatu dorongan emosi dari anak ketika dia sudah mulai kewalahan akan perasaannya sendiri. Bahasa gampangnya, dalam diri anak sendiri, dia tahu apa yang memacu emosi tantrumnya. Sedangkan dalam meltdown, anak tidak tahu. Yang ada dia tiba-tiba merasa capek sehingga perlu menangis dan berteriak.
Misalnya, anak sedang tidak enak badan dan orangtua mengajaknya jalan-jalan ke mal. Bukannya bahagia, anak malah menangis dan berteriak-teriak karena terganggu dengan kondisi di sekitarnya.
Jika dalam kondisi seperti ini, segala bujukan orangtua sudah tak mempan karena sebenarnya anak juga tidak tahu dia marah kenapa. Entah itu karena suara berisik di sekitarnya, atau karena melihat sesuatu yang tidak dia suka, atau apapun itu yang tiba-tiba memicu emosinya.
Lalu, mungkin nggak, sih, anak mengalami tantrum yang berlanjut pada meltdown?
Dilansir melalui Today's Parent, Professor Psikologi Amori Mikami dari University of British Columbia mengatakan bahwa emosi meltdown bisa saja datang dari anak tantrum juga. Hal itu karena anak sudah capek merasakan emosi marahnya yang berlebihan, sehingga akhirnya menangis tanpa bisa mengungkapkan lagi apa yang dia mau.
Saran dari Mikami, ada baiknya orangtua belajar strategi menenangkan anak tantrum sebelum berlanjut ke meltdown. Hal itu karena tantrum jauh lebih mudah ditangani daripada meltdown. Saat masih di fase emosi tantrum, anak masih bisa diajak bicara. Sedangkan di fase emosi meltdown, anak sudah tutup telinga dan hanya mau diam menangis saja.
Anak akan selesai tantrum ketika dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Atau ketika orangtua berhasil bernegosiasi akan apa yang membuat anak tantrum. Namun meltdown cenderung berakhir dengan anak kelelahan menangis atau berteriak, sehingga akhirnya dia diam saja atau langsung tertidur.
Apakah tantrum bisa berakhir dengan anak melakukan tindakan kekerasan?
Ya, karena pada dasarnya tantrum adalah emosi marah anak, bisa saja pada saat tantrum anak akan memukul dan menendang orang sekitarnya untuk mendapatkan yang dia mau. Jangan dibiarkan jika anak seperti ini, sebagai orangtua kamu perlu bertindak tegas untuk mengoreksinya.
Ketika anak mulai memukul, orangtua bisa katakan dengan tegas:
"Mama/Papa tidak suka kamu begini, ayo diam dan bicara baik-baik apa yang kamu mau."
Anak perlu ditegaskan, terus memukul tidak akan mendapatkan apa yang dia mau.
Memang anak sesekali perlu merasakan yang namanya emosi marah dan sedih. Tapi jangan pernah biarkan anak merasakan bisa mendapatkan apa yang dia mau dengan tendangan dan pukulan.
Bagaimana cara menangani emosi tantrum dan meltdown?
Karena dasarnya berbeda, tentu cara menanganinya bisa berbeda. Cara paling gampang menangani tantrum adalah langsung memberikan apa yang anak mau, tapi hal ini tidak akan mengajarkannya jadi pribadi yang baik dan tidak emosional.
Cara lain adalah orangtua perlu bernegosiasi. Misal, anak tantrum karena tidak mau pulang dari mall. Orangtua bisa mengatakan seperti ini:
"Mama papa mau pulang, kamu mau ikut atau mau sendirian di sini?"
Atau dengan kata lain yang lebih lembut,
"Kita pulang sekarang yuk, kalau kamu dalam satu minggu ini pintar, nanti weekend kita main di sini lagi."
Dengan bernegosiasi, anak paham kalau sebenarnya orangtuanya memperhatikannya. Dia juga akan paham, kalau dia tidak bisa mendapatkan semua yang dia mau atau ada konsekuensi lainnya. Namun jangan bicara dengan suara yang sama-sama marah ya. Berbicara dengan marah tidak membuat tantrum anak selesai, justru makin menjadi-jadi.
Sedangkan pada meltdown, orangtua perlu mengeluarkan anak dari kondisi yang membuat dia emosi. Misalnya anak menangis sejadi-jadinya tanpa alasan di kondisi mall yang ramai. Orangtua perlu membawa menjauh dari lokasi ramai tersebut, misalnya duduk tenang di mobil dulu.
Tak perlu mengajaknya berbicara dan memaksa anak mengatakan kenapa dia, hal ini justru akan memperparah emosi anak. Orangtua cukup duduk diam di samping anak sambil memeluknya atau mengelus punggungnya untuk menenangkan. Menurut Mikami, ketika emosi meltdown ini selesai dan anak sudah tenang, anak gak keberatan, lho, untuk kembali jalan-jalan ke mal lagi. Kuncinya satu, anak perlu benar-benar tenang terlebih dahulu.
Nah, itulah perbedaan dan cara menangani tantrum serta meltdown. Melihat anak yang tiba-tiba tantrum ataupun meltdown itu memang bikin pusing. Belum kalau di tempat umum di mana orang melihat dan berkomentar. Tapi tenang saja, semua fase ini akan berkurang ketika anak umur balita ke atas, Sisters.
Jadi nikmati saja masa-masa ini, jangan diambil pusing dan lakukan apa yang menurutmu sebagai orangtua itu baik untuk pendidikan karakter anak.