Sisters, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam menunjang perekonomian. Tak heran jika banyak masyarakat yang berpartisipasi dalam sektor ini dengan berbagai bidang tentunya. Sebut saja transportasi, telekomunikasi, startup teknologi, kuliner, dan lain sebagainya.
Memang, memulai dan merintis bisnis UMKM tidak mudah. Pada awalnya, para pelaku UMKM memiliki optimisme dan semangat yang begitu besar untuk menjalankan dan mengembangkan bisnisnya. Dalam hitungan bulan, mereka akan mendapati kenyataan bahwa berbisnis tidak mudah, meski berskala UMKM, lho. Ada sebagian yang berhasil bertahan dan berkembang. Namun, tak sedikit pula yang harus rela menyingkir dari arena bisnis sebab mengalami kegagalan.
Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab gagalnya UMKM? Memulai dan merintis bisnis meski pada level UMKM membutuhkan kerja keras dan perjuangan ekstra untuk bisa tetap survive. Entah disadari atau tidak, banyak pelaku UMKM yang abai dengan faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat menghalangi bisnisnya bahkan berisiko menjadi penyebab gagalnya UMKM yang dirintisnya. Lalu, apa saja, sih, faktor-faktor tersebut? Simak dibawah ini, yuk!
1. Keterbatasan modal
Sisters, sudah menjadi rahasia umum jika modal sering kali menempati posisi teratas dalam permasalahan yang dihadapi setiap pelaku usaha, termasuk UMKM. Ketika akan memulai UMKM, kebanyakan calon pengusaha hanya memperhitungkan modal usaha sebatas untuk pengadaan barang, peralatan, dan tempat usaha saja. Mereka lupa atau bahkan tidak tahu jika menjalankan bisnis juga membutuhkan biaya operasional yang harus dipersiapkan di awal.
Biaya operasional menyangkut biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama berjalannya bisnis, seperti biaya gaji karyawan, listrik dan air, pulsa telepon, dan lain-lain. Bisnis umumnya tak langsung menghasilkan uang ketika mulai dirintis. Bahkan bisa jadi di tahun pertama perintisannya, bisnis belum menghasilkan uang yang cukup untuk menutup seluruh biaya operasional. Artinya, masih jauh dari titik impas. Sebab itulah, agar bisnis mampu bertahan dibutuhkan modal untuk mendanai biaya-biaya yang dikeluarkan selama operasional bisnis berjalan.
Sayangnya, modal untuk biaya operasional UMKM tidak diperhitungkan apalagi disediakan sejak awal. Keterbatasan modal inilah yang menyebabkan UMKM tak bisa bertahan lama, karena tak memiliki uang tunai yang cukup untuk mendanai operasional bisnis. Sementara arus kas masuk dari bisnis belum mencukupi untuk menutup seluruh biaya operasional yang ada.
2. Pengelolaan modal yang buruk
Titik impas setiap UMKM sangatlah bervariasi, Sisters. Artinya, waktu yang dibutuhkan untuk bisa balik modal pada masing-masing UMKM berbeda. Ada yang cepat kurang dari satu tahun, ada pula yang lambat hingga butuh waktu lebih dari satu tahun. Di saat UMKM telah mencapai titik impas, menandakan bahwa arus kas masuk sudah lancar. Dengan kata lain, UMKM telah mampu menghasilkan keuntungan yang bisa digunakan untuk menutup biaya-biaya operasional bahkan melakukan pengembangan atau ekspansi bisnis.
Kemampuan UMKM menghasilkan laba tak selalu diimbangi dengan kemampuan mengelola modal yang memadai dari sang pengusaha. Perolehan laba seharusnya bisa menambah modal usaha. Secara lebih lanjut modal tersebut bisa digunakan untuk melakukan ekspansi usaha atau inovasi produk. Sayangnya tak semua pengusaha berlaku demikian. Banyak yang justru menggunakan laba usaha untuk kepentingan pribadi atau hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan pengembangan bisnis. Hal tersebut jelas tidak akan menghasilkan atau bahkan menciptakan aliran pendapatan baru yang menguntungkan bagi kegiatan bisnis UMKM. Akibatnya, UMKM tidak akan bertumbuh sehingga cenderung stagnan bahkan mengalami kemunduran yang bermuara pada hidup perusahaan yang hanya berlangsung singkat.
3. Minim organisasi
Perbedaan perusahaan skala besar dengan UMKM terletak pada kemampuan mengorganisir setiap bidang tugas yang ada. Perusahaan besar umumnya memiliki sistem yang memungkinkan pelaksanaan tugas atau pekerjaan dilakukan oleh karyawan secara otonom. Artinya, setiap transaksi apapun yang berkaitan dengan bisnis perusahaan terdokumentasi secara lengkap dalam aplikasi atau perangkat lunak tertentu. Setiap karyawan yang berkepentingan dapat mengakses data transaksi sehingga tidak ada pengkhususan terhadap keahlian atau keterampilan tertentu yang justru dapat mempersulit bahkan menghambat kelancaran bisnis perusahaan.
Sementara yang terjadi pada UMKM justru sebaliknya, Sisters. UMKM umumnya belum dilengkapi dengan sistem yang memungkinkan karyawan untuk bekerja secara otonom. Setiap aktivitas kerja pada UMKM cenderung tersentralisasi pada sang pemilik usaha, mulai dari pencatatan transaksi keuangan, jual beli, inventarisasi barang, hingga data suplier. Hal ini mengakibatkan akses karyawan terhadap bisnis UMKM terbatas. Karyawan tidak memiliki kebebasan dalam bernegosiasi dengan pelanggan, karena segala sesuatunya di bawah kendali pemilik UMKM.
Sentralisasi tugas atau pekerjaan pada UMKM ini entah disadari atau tidak justru akan menimbulkan masalah tersendiri. Bisnis akan sulit bertumbuh, karena hanya didominasi oleh perorangan, yakni sang pemilik. Jika suatu saat sang pemilik berhalangan kerja, seperti sakit, pergi ke luar kota, atau bahkan meninggal, maka operasional bisnis akan terganggu. Sebab, karyawan tidak terbiasa mendapat delegasi tugas atau izin untuk mengakses transaksi bisnis dan keuangan. Tidak ada organisasi dan proses regenerasi agar bisnis tetap bisa berjalan. Akibatnya, jalannya bisnis hanya bergantung pada sang pemilik yang menguasai segalanya. Ketika sang pemilik tak lagi mampu meng-handle semua urusan, maka berakhir pulalah bisnis tersebut.
4. Ketidaksiapan berjualan
Sisters, bisnis bisa tumbuh dan berkembang dengan kedisiplinan dan tentunya kesiapan untuk menjual produk atau jasa yang ditawarkan. Sayangnya, tak sedikit UMKM yang ternyata tidak siap untuk menjual produk atau jasa yang menjadi inti dari bisnisnya. Contohnya ketika produk atau jasa diluncurkan ke publik, UMKM harus siap dengan reaksi pasar. Jika ternyata pasar merespon dan menyukai produk atau jasa yang ditawarkan tentu akan ada banyak pembelian. Di saat banyak orderan masuk, UMKM justru sulit untuk memenuhinya dikarenakan keterbatasan sumber daya, baik stok produk maupun jumlah pekerja. Akibatnya, banyak pelanggan kecewa karena tak terlayani dengan baik. Inilah yang dimaksudkan dengan ketidaksiapan menjual.
Pelanggan yang kecewa tak lagi percaya. Jelas mereka tak akan melakukan pembelian ulang apalagi merekomendasikannya kepada orang lain. Mereka justru akan menceritakan pengalaman buruknya tentang produk dan layanan yang diterimanya dari UMKM terkait, sehingga muncullah stigma buruk yang melekat pada UMKM itu. Hal ini tentu menyebabkan calon pelanggan enggan untuk membeli produk atau jasa dari UMKM tersebut. Jika UMKM tak mampu mengatasi, maka kelangsungan bisnisnya tidak akan bertahan lama.
Nah, kegagalan UMKM cenderung disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat internal. Diakui atau tidak memang pengelolaan UMKM belum memenuhi standar profesional bisnis. Artinya, dalam pengelolaan UMKM masih melibatkan kepentingan pribadi di dalamnya. Hal ini umumnya ditunjukkan oleh pengelolaan keuangan, di mana pendapatan bisnis yang diperoleh juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, bahkan porsinya lebih besar dari kebutuhan bisnis itu sendiri. Akibatnya, bisnis mengalami kekurangan uang tunai untuk membiayai operasionalnya.
Nah, Sisters, inilah penyebab gagalnya UMKM, kalau kamu nggak mau gagal di tengah jalan, baca dahulu ya!