Hai Sisters! Minimnya pemahaman tentang hak pekerja perempuan, sering menjadi penyebab adanya gap antara pekerja perempuan dan laki-laki. Yuk, saatnya kamu ketahui dan pahami hak perempuan sebagai pekerja.
Masih banyak di antara pekerja perempuan belum mengetahui bahwa dirinya mempunyai hak-hak yang layak diperoleh sebagai pekerja. Padahal aturan hak pekerja perempuan secara resmi telah tertuang dalam undang-undang.
Kendati demikian, ada saja perusahaan ‘nakal’ yang mengabaikan hal tersebut dengan alasan kejar target atau sebagainya yang pada intinya tidak mau merugi.
Nah, sebagai perempuan yang bekerja selain dibekali kemampuan di bidangnya masing-masing, penting bagi kamu mengetahui 7 hak pekerja yang layak didapatkan sebagai pekerja perempuan. Check it out!
Melansir dari Fimela.com (8/5/2019), sudah menjadi lumrah ketika setiap bulannya perempuan akan kedatangan ‘tamu’, yakni haid atau menstruasi. Kondisi setiap perempuan ketika masa haid tersebut berbeda-beda, dan tak jarang rasa sakit yang dirasakan.
Nyatanya, pemerintah memang telah memberikan perhatian terhadap hal ini. Upaya yang diwujudkannya melalui peraturan di Pasal 81 (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan:
“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”
Karena itulah, jika pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha atau pihak perusahaan, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Tapi, kenyataan di lapangan memang tidak selalu berjalan mulus karena polemik yang terjadi adalah bagaimana prosedur untuk “memberitahukan kepada pengusaha” itu. Banyak terjadi, karyawan perempuan dipersulit mendapatkan hak tersebut karena perusahaan mewajibkan adanya surat keterangan dokter.
Padahal, kondisi seperti ini memang jarang seorang perempuan pergi ke dokter hanya karena mengalami menstruasi. Rasa tidak nyaman dan sakit di hari-hari awal menstruasi dialami sebagian besar wanita, sehingga hal tersebut dianggap normal.
Tuntutan perusahaan itu sebenarnya sah-sah saja, jika ketentuan tersebut tercantum dan disetujui bersama karyawan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sesuai pasal 81 ayat 2 UU Ketenagakerjaan.
Mengenai hak cuti untuk perempuan hamil dan melahirkan sudah banyak diberlakukan oleh perusahaan.
Hal ini juga tertulis dalam aturan hukum di Pasal 82 ayat 1 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang mengatur hak karyawan perempuan mendapatkan hak cuti hamil dalam masa kehamilan dan hak cuti melahirkan atau cuti bersalin dalam masa persalinan:
“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”
Aturan yang dibuat kenyataannya masih bersifat fleksibel di lapangan sesuai dengan kebijakan perusahaan karena beberapa perusahaan memberi kebebasan karyawannya untuk menentukan sendiri kapan waktu yang diinginkan untuk cuti.
Hal ini membuat pekerja perempuan lebih banyak mengambil cuti ketika mendekati hari prediksi lahirnya, supaya waktu merawat sang anak bisa lebih lama.
Nah, penting untuk diketahui nih yaitu kesamaan persepsi waktu “3 bulan” antara perusahaan dengan karyawan.
Beberapa perusahaan memperinci artinya menjadi 90 hari kalender dalam peraturan perusahaan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Tertuang dalam UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan PP No 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengatur tentang kewajiban perusahaan yang memiliki lebih dari 10 tenaga kerja atau membayar upah sedikitnya Rp1 juta untuk mengikutsertakan seluruh tenaga kerjanya dalam program BPJS Kesehatan.
Program BPJS Kesehatan ini sudah mencakup tentang pemeriksaan kehamilan dan melahirkan.
Rasanya tidak ada satu perempuan pun yang ingin mengambil hak cuti ini. Tapi, jika seorang perempuan mengalami keguguran maka ada hak yang bisa didapatkan dari perusahaan.
Istilah keguguran sendiri dalam dunia kedokteran, merupakan kondisi kehilangan janin sebelum janin itu dapat bertahan hidup di luar kandungan, yang diartikan usia janin kurang dari 20 minggu.
Berbeda dengan cuti hamil atau melahirkan, untuk cuti keguguran diberikan waktu 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dari dokter sehingga pekerja perempuan wajib melampirkan surat dokter atau bidan.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 82 (2) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, dan hendaknya ditaati oleh perusahaan.
“Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.”
Hampir setiap perempuan yang sudah melahirkan pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya termasuk ASI eksklusif. Maka dari itu, perusahaan perlu melihat urgensi pemenuhan hak karyawan perempuan untuk menyusui bayinya.
Salah satu upayanya dengan menyediakan tempat laktasi dan memberi kesempatan setidaknya untuk memerah ASI bagi karyawan perempuan pada waktu kerja.
Hal ini juga sudah diatur dalam Pasal 83 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah sebagai berikut:
“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.”
Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud kesempatan sepatutnya adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Adanya perlakukan khusus bagi pekerja perempuan ditetapkan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 No 76, bahwa pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Selain itu, perusahaan wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Nah, hak yang ketujuh bagi pekerja perempuan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Permen 03/Men/1989, yakni larangan PHK terhadap pekerja perempuan dengan alasan menikah, sedang hamil dan melahirkan.
Hal ini didasari oleh perlindungan hak perempuan bahwa ketiga hal tersebut adalah kodrat, harkat dan martabatnya sebagai seorang perempuan.
Selain hak-hak khusus di atas, pekerja perempuan tetap berhak untuk memiliki cuti yang telah diatur oleh Depnaker. Jika kamu sebagai HR, sebaiknya ketahui dan pahami hak khusus ini.
Menjadi perempuan berkarier bisa didasari karena pilihan atau tuntutan. Apapun alasannya, kamu layak mendapatkan hak khusus yang sudah diatur oleh pemerintah.
Meski belum semua perusahaan memberlakukannya, tapi usaha tidak akan mengkhianati hasil kok.
Semoga kamu bisa menjadi bagian yang membantu memperjuangkan hak-hak untuk pekerja perempuan. Semangat, Sisters!!!
Mengenai pemberhentian wanita tersebut karena dirinya kurang cantik, pada dasarnya dalam Pasal 153 ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
Pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
Jadi, perbuatan bos/pengusaha tersebut tidak dapat dibenarkan melihat pada ketentuan-ketentuan UU Ketenagakerjaan di atas.
Jika pekerja wanita yang bersangkutan tidak dapat menerima keputusan perusahaan terkait pemutusan hubungan kerja tersebut (baik karena memang alasannya adalah kurang cantik atau itu hanya asumsi dari si wanita), ini berarti terdapat perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Perbuatan pengusaha yang menambahkan aturan tentang larangan berhijab/berjilbab bagi pekerja wanita dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama. Terkait hal ini, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) berbunyi:
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan di atas menegaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan diskriminasi terhadap pekerjanya maupun calon pekerja yang ingin bekerja di perusahaannya karena pada dasarnya tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, baik itu berdasarkan agama, kelamin, suku, ras maupun aliran politik.