Hai Sisters! Beberapa waktu yang lalu, acara Kelas Literasi Digital yang dibuka oleh Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadingrat tersebut mengusung tema “Kapan Anak Boleh Punya Gedget Sendiri” dengan narasumber Shanti Maya, Founder & Trainer Socio Learning dan Diah Kusumawardani Wijayanti, Founder Yayasan Belantara Budaya Indonesia.
Dalam pemaparannya, Shanti Maya menjelaskan usia tugas perkembangan anak itu mulai dari 0-6 tahun masih dalam tahap keterampikan fisik, keterampilan bahasa, dan baru memulai mana yang baik dan buruk.
“Lalu tugas perkembangan yang kedua adalah 6-12 tahun, di usia ini anak baru mulai bersosialisasi, mulai memerankan dirinya sesuai jenia kelaminnya, berempati, dan mulai dalam pemahaman mengenai baik dan buruknya,” ujarnya Shanti usai acara.
Lalu Sisters, lanjut Shanti, ada juga tugas perkembangan dari umur 12-21 tahun, Sisters, pada usia ini sudah masuk area remaja menuju dewasa dan anak-anak sudah pasti pemikirannya menuju mandiri.
“Usia tersebut sudah tau mana yang baik dan buruk, kemudian dia sudah berpikir tentang karir, selebihnya 21 tahun keatas sudah dewasa,” terangnya.
Efisiensi Waktu
Setelah kita mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, lanjut Shanti, barulah kapan anak boleh pegang gadget dan punya gadget sendiri.
Menurut Shanti, efektif anak pegang gadget secara mandiri, kalau sesuai dengan tugas perkembangan anak sesuai umur adalah di usia 12 tahun keatas.
“Karena usia tersebut sudah mandiri dan berpikirnya sudah bisa mandiri, menentukan baik dan buruknya juga sudah mandiri,” jelasnya.
“Efektifnya di usia segitu ya, memegang gadget secara mandiri full itu diusia 12 tahun keatas,” imbuh Shanti.
Sementara itu, untuk usia di bawah 12 tahun dan di bawah 6 tahun dilarang atau tidak, menurut Shanti, itu tidak juga.
“Ada durasi waktu yang bisa ditentukan, durasi waktunya cukup di area satu jam sampai dengan dua jam. Itupun dalam pendampingan orang tuanya,” ungkapnya.
Agar durasi waktu bisa berjalan efektif, menurut Shanti, harus membuat kesepakatan dengan anak dan orang tua sendiri harus memiliki pola bahasa kominikasi yang tepat dengan anak.
“Misalnya begini, kami mau main gadget jam 1 sampai jam 3, atau jam 3 sampai jam 5. Akhirnya anak akan milih, dan ada kesepakatan. Dari situ anak akan lebih tanggung jawab karena dia memutuskan waktunya sendiri,” jelasnya.
Jadi, kata Shanti, cara berkomunikasi dengan anak harus seperti itu, agar anak tidak marah. Padahal, orang tua sudah mengendalikan waktu dan seolah-olah anak yang memberikan jawaban.
Kemudian, Shanti mencontohkan dengan komunikasi yang salah seperti mau main gadget jam berapa? Pasti anak akan bermain gadget selama-lama mungkin.
“Akhirnya orang tua jadi emosi, anak juga jadi emosi. Oleh karenanya, harus ada pola yang tepat juga untuk bertanya,” tambahnya.
Dampak Buruk
Shanti menjelaskan, dampak buruk dari kebanyakan bermain gadget secara kognitif berpikir cepatnya akan turun menjadi lambat dan secara fisik keterampilannya, motoriknya terutama akan tidak efektif.
“Karena dia hanya bermain tangan saja kan, terutam motorik kasarnya. Kalau secara emosi sudah pasti, dia akan bertindak sesuai dengan emosinya,” kata Shanti.
“Lalu, menjadi malas juga, karena sudah disediakan kontennya di video, kalau jaman dulu kan dongeng, anak bisa membayangkan dan memvisualisasikan. Tapi kalau sekarang tinggal lihat saja,” tambah Shanti.
Nah, Sisters, menjadi orang tua itu harus bisa berdiskusi dengan anak dan harus tahu anak itu harus main sesuai usianya, bisa mengatur waktu, dan bisa mendamping saat mereka lagi bermain gadget, ya, Sisters!