Sisters, tanggal 21 April adalah Hari Kartini yang diambil dari tanggal kelahirannya sendiri. Kamu pasti sudah tahu bahwa Kartini adalah sosok pahlawan yang memperjuangkan hak kaum perempuan. Kalau bukan karena beliau, rasanya perempuan Indonesia tidak akan maju dan modern seperti sekarang.
Nah, untuk mengenang jasa-jasanya, simak 9 fakta menarik seputar Kartini berikut ini, Sisters.
Pahlawan Kontroversial
Perempuan bernama asli Raden Adjeng Kartini dikenal lewat bukunya yang berjudul “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku itu yang bukan ditulis oleh Kartini, namun disusun oleh J.H Abdendanon dalam Bahasa Belanda. Sebenarnya ada 150 surat di buku tersebut, tapi tidak semua ditampilkan karena banyak juga yang sifatnya sangat sensitif.
Akhirnya, buku tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan menampilkan 100 surat. Di antaranya, ada 53 surat yang ditujukan untuk sahabatnya, Rosa Abendanon dan suaminya. Kartini dianggap sebagai pahlawan kontroversial, karena para sejarawan meragukan buku Habis Gelap Terbitlah Terang, karena tidak ada bukti surat-surat Kartini.
Mahir Berbahasa Belanda
Walaupun hanya mengenyam pendidikan dasar di sekolah anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi, Kartini ternyata mahir berbahasa Belanda dan memiliki tata bahasa yang sangat bagus, Sisters. Karena ia selalu mengisi waktu dengan banyak membaca buku. Orang-orang Belanda yang meragukan surat-surat Kartini tersebut, akhirnya yakin bahwa surat-surat tersebut memang asli tulisan Kartini.
Benci Dengan Tata Cara Hidup Feodal Jawa
Kartini mewarisi darah biru ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang merupakan Bupati Jepara. Ibunya, Ngasirah cuma seorang selir, karena berasal dari rakyat jelata. Menurut aturan feodal Jawa, ia wajib memanggil ibunya “Yu” yang berasal dari kata “Mbakyu” (kakak perempuan). Sedangkan, ibunya memanggil Kartini “Ndoro” (panggilan untuk bangsawan Jawa). Jika Ngasirah lewat di depan Kartini, ia harus berjalan membungkuk. Jika Kartini duduk di kursi, ibunya harus duduk di lantai. Kartini cuma boleh memanggil ibu kepada ibu tirinya, Raden Ayu Moeryam yang merupakan keturunan raja Madura.
Namun, Kartini benci dengan tata cara hidup feodal Jawa. Ia pun lebih suka dipanggil “Kartini” ketimbang “Raden Adjeng Kartini”. Ia sangat tidak suka melihat orang yang membanggakan asal dan keturunan. Kartini pun membebaskan dirinya dari adat. Ia melarang adiknya berjalan jongkok, menyembah, menunduk, dan bersuara pelan saat berbicara dengannya.
Di Bully di Sekolah
Saat sekolah, Kartini kecil kerap menghadapi diskriminasi dan cemooh dari guru-guru Belanda. Karena, ia adalah perempuan dan bangsa berkulit cokelat. Guru-guru tidak rela memberikan nilai tertinggi untuk anak Jawa, meskipun si murid berhak menerima. Kartini hanya boleh menempuh pendidikan sampai sekolah dasar, setelah itu ia dipingit di rumah. Sehingga, ia kehilangan masa kecilnya.
Ketika zaman itu, perempuan memang hanya dikurung di rumah untuk menunggu laki-laki tak dikenal datang menjemput dan menikahinya. Untuk mengisi waktu, Kartini rajin membaca majalah, buku, dan surat kabar yang bercerita tentang gerakan emansipasi perempuan di Eropa. Itulah hal yang menginspirasi dirinya untuk memperjuangkan hak dan martabat perempuan.
Bersedia Menikah, Asalkan..
Kartini bersedia dijodohkan asalkan ayahnya membolehkan ia mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan, diperbolehkan mengajar, dan boleh menggapai cita-citanya untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Kartini juga menolak ritual cium kaki suami yang merupakan aturan upacara pernikahan feodal Jawa. Ia menganggap tradisi itu merendahkan perempuan.
Seorang Pebisnis
Kartini juga mendirikan sebuah bengkel ukir kayu untuk para pemuda di Rembang, lho, Sisters. Sehingga kriya ukir dan kayu telah lama menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Jepara dan Rembang.
Museum Kartini Di Jepara
Tepatnya di Desa Panggang, Kecamatan Jepara, ada Museum R.A Kartini yang didirikan pada 30 Maret 1975, di masa pemerintahan Soewarno Djojomardowo. Museum ini selain menyajikan benda-benda peninggalan Kartini, juga menyajikan benda-benda warisan budaya yang didapat di Jepara.
Namanya Dijadikan Nama Jalan di Belanda
Nama Kartini terkenal sampai ke Belanda sebagai pejuang hak perempuan. Sampai-sampai, namanya dijadikan nama jalan di beberapa kota di Belanda, yaitu di Utrecht, Venlo, Amsterdam, dan Haarlem.
Wafat di Usia 25 Tahun
Dari hasil pernikahannya, Kartini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Empat hari kemudian, Kartini meninggal dunia di usianya yang ke-25. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Kehidupan R.A Kartini memang menginspirasi banyak kaum perempuan, ya, Sisters!