Sisters, tahukah kamu bahwa setiap 2 April merupakan Hari Peduli Autisme (World Autism Awareness Day)? Berbicara mengenai autisme, dr Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdl, salah satu penggiat autisme yang kerap bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terkait isu – isu autisme mengatakan bahwa autisme dapat terjadi pada anak siapa saja, tidak ada perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan etnis. Penyandang autisme laki – laki lebih banyak dibandingkan perempuan (1 : 5), Sisters.
Prevalensi autisme di dunia semakin lama semakin meningkat. Hingga sebelum tahun 2000, prevalensi autisme 2-5 sampai dengan 15-20 per 1.000 kelahiran, 1-2 per 1.000 penduduk dunia. Data ASA ( Autism Society of America) tahun 2000 yaitu 60 per 10.000 kelahiran, dengan jumlah 1 : 250 penduduk. Sementara, data CDC (Centers for Disease Control and Prevention, USA) tahun 2001 yaitu 1 di antara 150 penduduk, dan di beberapa daerah di USA / UK yaitu di antara 100 penduduk. Pada tahun 2012, data CDC menunjukkan bahwa sejumlah 1:88 anak menyandang autisme, dan pada tahun 2014 meningkat 30% yaitu sebanyak 1,5% atau 1 : 68 anak di USA menyandang autisme.
Sedangkan di Indonesia tidak ada data yang pasti. Menurut Dokter Rudy, yang merujuk pada Incidence dan Prevalence ASD (Autism Spectrum Disorder), terdapat 2 kasus baru per 1000 penduduk per tahun serta 10 kasus per 1000 penduduk (BMJ, 1997). Sedangkan penduduk Indonesia yaitu 237,5 juta dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14% (BPS, 2010). Maka diperkirakan penyandang ASD di Indonesia yaitu 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun.
Untuk mengenal lebih jauh gejala autisme, yuk simak ini lebih lanjut, Sisters!
Gejala Autisme
Sisters, apakah si kecil yang belum mencapai usia 3 tahun secara aktif menghindari kontak mata, bahkan oleh Bundanya sekalipun? Menghindari kontak fisik, misalnya dengan membengkokkan punggungnya sehingga menjauhi Ayah dan Bunda atau pengasuhnya? Atau tidak bereaksi saat digendong? Well, Sisters, hal tersebut merupakan ciri umum gejala autisme.
Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal, namun sebelum mencapai umur 3 tahun perkembangannya terhenti, kemudian timbul kemunduran secara bertahap, ada yang pada usia 18 bulan baru memperlihatkan gejala-gejala autisme.
Pada usia 1 tahun, sebagian bayi perkembangan motoriknya mungkin normal, dan sebagian lainnya agak terlambat. Kemudian pada usia yang semakin besar, anak-anak autistik akan semakin terlihat terbelakang dibandingkan anak-anak seusianya pada bidang komunikasi, keterampilan sosial, dan pemahaman. Selain itu, timbul perilaku-perilaku disfungsional seperti stimulasi diri, yaitu perilaku yang berulang-ulang dan tanpa tujuan, seperti bergoyang-goyang ke depan-belakang, mengepak-ngepakkan tangannya, melukai diri sendiri (misalnya menggigiti tangan atau membentur-benturkan kepala), masalah tidur dan makan, kontak mata buruk, kebal terhadap rasa sakit, hiperaktif, dan tidak dapat memperhatikan suatu hal. Gejala-gejala autisme akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia 3 tahun, yaitu berupa:
Nah, Sisterss. selain itu, suatu ciri yang umum pada autisme yaitu kegigihannya terhadap hal yang sama secara terus – menerus yang jika berubah sedikit saja akan menyebabkan mereka bingung, bahkan mengamuk. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mereka untuk memahami atau mengatasi situasi yang baru.
Mungkin kamu juga pernah melihat bahwa penyandang autistime kesulitan mengolah rangsangan, seperti menghindari segala bentuk kontak tubuh atau justru kebal terhadap rasa sakit. Sekitar 40% penyandang autisme tidak suka pada suara-suara atau frekuensi tertentu, sehingga seringkali mengalami ledakan emosi ketika mendengar suara tangisan bayi atau sepeda motor. Sebaliknya, beberapa anak penyandang autisme seperti tampak tuli karena tidak berespons terhadap berbagai suara. Hal tersebut dikarenakan sebagian anak penyandang autisme mengalami gangguan terhadap satu atau beberapa inderanya, yaitu meliputi pendengaran, penglihatan, taktil (rabaan), pengecapan, keseimbangan, penciuman, dan vestibular (penginderaan pada otot, urat/tendon, sendi, dan organ keseimbangan, yang mendeteksi gerakan serta posisi tubuh dan anggota badan).
Mari Pahami Keadaannya
Sisters, hal klasik yang sering terjadi, yaitu ketika orangtua mengetahui adanya keanehan atau perbedaan pada anak mereka dibandingkan anak lain, maka lingkungan sekitar mereka akan merespon dengan mengemukakan mitos-mitos yang tidak benar, misalnya “anakmu kan laki-laki, jadi bicaranya lambat”, “anakmu kan jalan/tumbuh gigi lebih dulu, jadi bisa bicaranya belakangan”, “ah kamu terlalu khawatir, si x juga dulu lambat bicaranya, sekarang cerewet”, dan sebagainya. Bahkan mitos-mitos yang salah ini kadang juga diucapkan oleh seorang dokter, lho, Sisters.
Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, masih sering terjadi “shopping” dokter, yaitu orangtua membawa anak mereka dari satu dokter ke dokter yang lain untuk mendapatkan diagnosis, sampai akhirnya jika beruntung, mereka bertemu dengan dokter yang waspada atau menguasai tentang autisme. Malangnya jika mereka tetap tidak bertemu dengan dokter yang tepat, ataupun jika bertemu dengan dokter yang dengan yakin (namun ternyata salah) dan dapat menyakinkan orangtua bahwa anaknya bukan autisme (tidak autistik) yang mungkin sepemikiran dengan orangtua yang berada dalam “fase denial” (penyangkalan) dalam menerima suatu keadaan yang berat dalam hidup mereka (coping mechanism), maka mereka akan berkeyakinan (yang ternyata salah) bahwa anak mereka bukanlah penyandang autisme.
Memang, biasanya respon pertama orangtua ketika mengetahui bahwa anaknya terlahir dalam kondisi autis adalah sedih atau bahkan menyalahkan diri sendiri dan orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ketidakterimaan orangtua terhadap kondisi anak autis ternyata membawa mereka pada fase pengabaian anak itu sendiri sehingga anak jadi terabaikan. Padahal, anak penyandang autisme justru sedang membutuhkan sosok yang dapat memahami keadaannya dan memberikan pengasuhan yang layak dan baik agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi insan yang tangguh.
Ketika anak memiliki gejala autisme, yang harus orang tua lakukan adalah menerima dulu kondisi bahwa sang anak menyandang autisme dan butuh perhatian ekstra orangtuanya. Dukungan dan perhatian orang tua, masyarakat dan lingkungan terdekat anak sangat diperlukan karena biasanya anak penyandang autisme sering dianggap anak aneh, ada pula yang dianggap anak nakal atau anak yang sulit diatur bahkan dikira anak gila sehingga mereka mudah sekali mendapatkan kekerasan atau diskriminasi lingkungannya, Sisters.
Ketika orangtua sudah menerima kondisi anak, maka orangtua wajib membawa anak ke dokter dan tenaga medis yang khusus menangani anak autisme. Hal ini dilakukan agar orangtua memahami cara penanganan yang benar dalam tumbuh kembang si anak. Orangtua datang membawa anak ke dokter bukan untuk membuktikan bahwa anak ini menyandang autisme atau tidak, tapi untuk mempelajari bagaimana penanganan sang anak agar orangtua memahami betul kebutuhan anak penyandang autisme, Sisters.
Penerimaan dan perlakuan khusus adalah kunci dari perlindungan anak autisme. Untuk kalian yang memiliki anak penyandang autisme, jangan pernah malu dan menyerah akan keadaan anak kita. Anak penyandang autisme dapat tumbuh dan berkembang secara optimal jika orangtua terus mengupayakan perlindungan khusus secara dini dan intensif.
Tidak hanya orangtua, tapi para guru (terutama guru PAUD), tenaga kesehatan (puskesmas dan dokter anak), dan masyarakat (kader/aktivis) juga mampu melakukan deteksi dini terhadap anak - anak yang dicurigai menyandang autisme sehingga dapat dilakukan penanganan sejak dini, Sisters.
Kita tentunya tidak bisa menutup mata, bahwa ada anak penyandang autisme di sekitar kita. Kita semua tanpa terkecuali wajib melindungi anak penyandang autisme dimulai dari diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat luas. Mari kita satukan semangat juang kita untuk melindungi anak penyandang autisme. Anak autisme juga anak kita, Sisters!
Sumber Info: Kemen PPPA RI