Sisters, melalui pelatihan bagi guru, yang diselenggarakan oleh Program Air dan Sanitasi di Sekolah, kerjasama UNICEF dan Yayasan LemINA, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran sekolah dasar.
Promosi pesan perilaku PHBS pun disisipkan pada saat jam pelajaran berlangsung di kelas. Untuk kebutuhan tersebut, sebelumnya telah disusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) oleh guru, yang sudah memuat pesan PHBS yang akan disampaikan, Sisters.
Nah, sudah seharusnya, kebiasaan berperilaku bersih mulai ditanamkan sejak sekolah dasar, agar dapat terbawa hingga dewasa, Sisters. Karena terkait kebiasaan, maka pesan hidup bersih dan sehat, tidaklah cukup jika hanya diajarkan atau dicontohkan saja oleh guru kepada siswanya. Untuk memastikan apakah siswa mengadopsi pesan higiene atau tidak, maka harus dilakukan monitoring terhadap semua siswa.
Beberapa perilaku yang harus dimonitoring.
Khususnya bagi siswa-siswa yang berada di perdesaan adalah cuci tangan pakai sabun sebelum makan/jajan dan setelah buang air, BAB di jamban, sikat gigi, mandi, keramas, potong kuku secara berkala dan buang sampah pada tempatnya.
Nah, hasil monitoring yang dilakukan oleh guru pada sebagian besar sekolah yang didampingi oleh program PHBS, tidak sepenuhnya menunjukkan adanya perubahan perilaku. Sebagian siswa masih menganggapnya sebagai sebuah peraturan sekolah saja, sehingga saat tidak berada di sekolah atau tak ada guru, mereka cenderung meninggalkan kebiasaan cuci tangan atau kembali membuang sampah sembarangan.
Untuk menyiasati hal tersebut, maka didorong sebuah pendekatan baru, yaitu pendekatan anak ke anak atau teman sebaya, nih, Sisters.
Salah satu dari strategi yang berdasar pada pendekatan ini adalah dengan mendorong monitoring partisipatif oleh anak. Diharapkan dengan hal tersebut, anak-anak bisa lebih cepat mengadopsi PHBS dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah dan lingkungan sekitarnya.
Lalu, seperti apa, sih, monitoring partisipatif tersebut?
Dalam sebuah kelas, ditempatkan papan kontrol sehat, yang berisi kolom indikator PHBS yang akan dipicu dan kolom untuk menempatkan nama siswa. Papan ini untuk mengetahui berapa banyak siswa yang melakukan dan tidak melakukan, masing-masing perilaku hidup bersih dan sehat. Papan ini mewajibkan setiap siswa untuk mengisinya setiap hari. Pengisian papan menggunakan kartu-kartu yang bertuliskan nama semua siswa yang ada dalam kelas, Sisters.
Contohnya.
Sebagai contoh, jika pada hari itu ada siswa yang mandi pagi sebelum ke sekolah, maka siswa tersebut berhak merekatkan atau memasukkan kartu yang bertuliskan namanya ke dalam kolom atau kantong “ya” yang tersedia, di sebelah kiri kolom indikator PHBS. Sebaliknya, apabila ada anak yang tidak sikat gigi pada hari itu, maka ia harus meletakkan kartunya pada kolom “tidak.”
Papan sengaja diletakkan pada dinding, sehingga mudah dilihat oleh semua.
Dengan strategi ini, semua siswa bisa termotivasi untuk melakukan PHBS setiap harinya, agar namanya bisa menghiasi kolom “ya” untuk semua indikator. Meski diisi sendiri oleh siswa bersangkutan, namun bukan berarti setiap anak bisa seenaknya meletakkan kartu mereka. Teman-teman lainnya dan ketua kelas serta guru melakukan pengawasan terhadap semua kartu yang diletakkan untuk setiap indikator. Apabila ada yang ketahuan berbohong, dengan meletakkan kartunya pada kolom “ya,” padahal ia buang sampah sembarangan di hari itu, maka temannya akan melaporkan kepada ketua kelas. Ketua kelas berhak untuk memindahkan kartu temannya yang berbohong tadi ke kolom “tidak.”
Seperti itulah cara kerja monitoring partisipatif oleh anak. Guru kelas kemudian berkewajiban untuk merekap atau menyimpulkan secara keseluruhan kondisi PHBS siswanya, setiap bulan. Dari hasil papan kontrol tersebut, guru kelas dapat menyusun kembali strategi baru dalam melaksanakan pengajaran di kelas, yang menyisipkan pesan hidup bersih dan sehat, Sisters.
Sumber Info: Kemen PPPA RI https://serempak.id/monitoring-partisipatif-anak-sekolah/