Menjadi entrepreneur bukan hanya soal idealisme dan kebebasan diri semata, menjadi pengusaha berarti kesediaan untuk melayani, memberi solusi, dan menjalin hubungan baik dengan konsumen.
Berangkat dari premis inilah kami melakukan rebranding pada usaha snack lumpia kering kami ini pada bulan April 2021 lalu.
Pada awal tahun 2018, aku ingin sekali mulai berwirausaha. Cita-citaku berwirausaha ini didorong oleh keinginan mengisi waktu libur kerja dengan kegiatan produktif. Pokoknya aku ingin selalu bekerja sampai tua, tidak seperti karyawan yang rata-rata sudah pensiun di usia 55 tahun. Setelah beberapa saat menimbang pilihan-pilihan jenis usaha, akhirnya kuputuskan untuk serius menekuni bisnis makanan ringan lumpia kering. Aku menjatuhkan pilihan pada bisnis ini karena lumpia kering termasuk jenis makanan ringan yang unik. Suami dan anak-anakku kebetulan juga sangat setuju dengan pilihanku ini.
Aku ini tidak melakukan perencanaan apa-apa. Mulai saja dulu. Dalam stigmaku kala itu kalau terlalu banyak perencanaan justru membuatku nggak akan mulai-mulai. Produk ini kemudian kunamai Perfect Ten dan ada enam varian rasa yang ditawarkan ke pasar. Semua produksi dan pengemasan kukerjakan berdua saja dengan asisten rumah tanggaku.
Tidak disangka, snack lumpia kering buatanku ini disukai oleh teman-teman kantor dan tetangga sekitar rumah. Setiap hari aku membawa 20-50 pcs stok ke kantor dan selalu habis.
Setahun berselang, usaha ini masih tetap berlanjut dan stabil pada rata-rata angka penjualan yang sama. Melihat prospek yang cukup baik aku pun memberanikan diri menambah satu karyawan tetap untuk membantu produksi. Semua terlihat baik-baik saja hingga akhir tahun 2019.
Pada awal tahun 2020, pademi Covid menghantam. Pelaku-pelaku bisnis berjatuhan akibat guncangan ekonomi. Efek yang sama juga berdampak pada bisnisku ini yang secara drastis terasa penurunannya. Pertengahan tahun 2020 bisnisku memasuki masa kritis. Semenjak kebijakan Work From Home diberlakukan oleh perusahaan tempatku bekerja, tidak ada orderan lagi yang masuk karena selama ini aku hanya mengandalkan penjualan di lingkungan sekitar kantorku saja.
Ketika memasuki awal tahun 2021, aku hampir menyerah. Kupikir tidak mungkin lagi menyelamatkan bisnis ini. Selama berbulan-bulan, pemasukan sama sekali tidak ada sementara ada dua orang karyawan perlu dibayar gajinya tiap bulan. Suatu hari di bulan April suamiku berniat membantu supaya bisnis ini tetap berkembang dalam kondisi pandemi, ia akan membimbingku sebagai konsultan untuk melakukan rebranding secara holistik pada bisnis ini.
Hal pertama yang kami lakukan adalah membentuk ulang identitas merek, hal ini berguna untuk memperkuat unique selling point dan value proposition dari produk ini dan menjauhkannya dari kompetitor sejenis. Goal -nya bukan untuk jadi lebih baik tetapi produk ini harus berbeda dari kompetitor. Dalam proses ini kami memutuskan untuk merubah nama dari Perfect Ten menjadi Hungry Monster dan mendesain ulang logo, kemasan, dan turunan-turunannya.
Secara paralel kami juga mulai melakukan riset persona, hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Riset ini berguna untuk mendesain pola komunikasi, terutama yang berkaitan dengan pesan marketing dan advertising. Jadi bukan hanya kemasan dan tampilan iklan saja yang perlu didesain, pola komunikasi pun perlu didesain secara tepat agar tidak membangun jarak antara produkku dengan calon konsumen.
Penjualan melalui cara tradisional gelar lapak dan dari mulut ke mulut yang sebelumnya kulakukan kemudian dialihkan ke media platform digital. Ada banyak ragam media sosial yang tersedia tapi tak lantas semuanya harus kami eksekusi. Di sini sangat penting untuk menjalin sinergi antar media sosial. Kadang ada medsos yang kurang kuat berdiri sendiri, tetapi ketika kita pandang secara integral, media sosial ini sangat memperkuat media-media sosial lainnya. Pemilihan medsos yang kami gunakan sebagai tools berkomunikasi didasarkan pada riset persona tadi. Calon target market Hungry Monster kebanyakan masih ‘nongkrong’ di Instagram, Facebook, dan TikTok. Pada tiga media sosial inilah kami fokus berkomunikasi. Jadi, yang penting di sini bukan muncul sebanyak-banyaknya di semua media sosial. Yang lebih penting adalah sinerginya, bukan banyaknya. Kalau nggak sinergis ya nggak efektif dan efisien.
Mengevaluasi revenue stream menjadi hal berikutnya yang perlu dilakukan. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, ada enam varian rasa yang kutawarkan ke pasar. Dalam situasi pandemi seperti ini, jumlah varian yang banyak akan membebani biaya produksi dan juga tenaga, resiko barang rusak karena tidak laku akan besar. Untuk itu, pada awal April 2021, kami memulai lagi dari awal hanya dengan meluncurkan satu varian rasa saja, yaitu keju. Dan ini menjadi satu-satunya revenue stream kami pada masa awal rebranding.
And last but not least, Menyusun ulang pengelolaan keuangan. Untuk menghadapi kondisi pandemi yang sulit diprediksi arahnya, mengubah cash flow berbasis fixed cost menjadi variable cost menjadi pilihan utama kami dalam menyiasati pengeluaran. Pola produksi yang awalnya berbasis stok, kini berubah menjadi sistem pre order (PO). Kami mengumpulkan list pemesan dan melakukan produksi hanya jika jumlah pemesan sudah dirasa cukup. Dengan melakukan sistem PO otomatis kami menggunakan jasa karyawan setiap dibutuhkan saja. Kuantitas produksi kami lebih tertakar sehingga tidak ada barang sisa yang berpotensi menjadi kerugian.
Dalam prakteknya, aku menjalankan semua perencanaan yang sudah kami buat. Suamiku hanya membantu dalam pembukuan keuangan saja. Siang dan malam kukontak toko-toko oleh-oleh yang ada di sekitar Bogor, toko makanan ringan, toko kue, café-café, hingga restoran untuk menawarkan kerjasama dalam bentuk konsinyasi. Penjualan door to door juga kulakukan melalui aplikasi WhatsApp, kutawari semua teman-teman dengan produk dengan nama baru ini. Tak lupa, aku pun rajin mengikuti bazar untuk mengenalkan produk ini ke masyarakat. Awalnya banyak sekali yang menolak tetapi perlahan-lahan mulai banyak pembeli dan toko yang menerima titipan barang kami.
Melihat antusisme masyarakat yang mulai meningkat, kami pun memutuskan untuk menambah revenue stream. Kami keluarkan tiga varian rasa baru Hungry Monster; Rendang, Balado, dan Bubble Gum. Keputusan yang tepat karena ternyata mampu menjaring konsumen yang heterogen.
Traffic kami di media sosial pun meningkat dan bersamaan dengan meningkatnya engagement kami di media sosial, produk kami mulai menarik minat para reseller. Reseller kami kini tidak hanya dari Jabodetabek, melainkan juga dari Jawa barat dan Jawa Tengah.
Walau merasakan perkembangan yang cukup baik tetapi kami tetap berhati-hati dalam mengelola keuangan. Kami tetap menerapkan sistem variable cost, status karyawan tetap berstatus freelance tapi bedanya kini kami bisa memberdayakan lebih banyak orang. Desainer grafis, fotografer, admin media sosial, tukang masak, dan kurir. Kebanyakan orang-orang ini kami berdayakan dari warga di sekitar komplek rumah.
Kini aku optimis bisnis kami mampu menjangkau area yang lebih luas. Untuk mewujudkan hal itu, kami perlu meningkatkan skala produksi agar mampu memenuhi demand yang meningkat. Beberapa inventaris produksi kami saat ini perlu dikembangkan dan ditambah, selain agar bisa meningkatkan skala juga untuk meningkatkan mutu produk-produk Hungry Monster. Maka itu, jika aku dipercaya untuk memanfaatkan #ModalPintar Sisternet, aku tidak hanya akan meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan skala produksi tapi juga ingin terus memberikan kontribusi nyata terhadap masyarakat dalam bentuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi mereka. Ini semua adalah langkah awal dalam mewujudkan cita-cita kami untuk membuat brand Hungry Monster menjadi merek yang tidak saja enduring tapi juga powerfull.