Hai Sisters! Dulu istilah literasi biasanya identik dengan referensi/sumber bacaan untuk hal-hal yang bersifat ilmiah. Kalau sudah pernah atau sedang menyusun tugas akhir skripsi, bertumpuk-tumpuk referensi akan kita kumpulkan untuk mendukung atau memperkuat bahan tulisan yang kita buat.
Sebenarnya bukan hanya untuk tugas akhir seperti skripsi saja. Tugas kuliah seperti makalah atau karya tulis buat anak SMA yang jumlah kata di dalamnya lebih pendek pun membutuhkan referensi penunjang. Ternyata pengertian literasi itu berkembang dari masa ke masa? Untuk pengertian sederhana saja literasi oleh kamus Merriam-Webster dimaknai begini:
Nah, secara sederhana literasi digital itu adalah kemampuan seseorang untuk paham dan bisa mengakses sumber informasi berbasis digital. Contoh paling gampangnya adalah gadget. Siapa sih di antara kita yang tidak punya gadget smartphone plus di dalamnya sudah dijejalkan fitur media sosial di dalamnya? Punya akun media sosial semacam FB, Twitter, Instagram, kan? Atau minimal aplikasi chat seperti Whatsapp, Line sampai Telegram yang beberapa waktu lalu sempat jadi trend topik di berbagai lini masa.
Generasi milenial sendiri diartikan sebagai mereka yang lahir di antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2.000. Dalam perkembangan di usia remaja menuju dewasanya, mereka mengalami adaptasi perubahan teknologi dalam kesehariannya dari hal-hal yang manual atau konvensional ke hal yang sama namun berbasis teknologi.
Contoh gampangnya nih, kalau dulu membaca buku secara fisik sekarang bisa diakses secara digital. Juga minim penggunaan kertas yang lebih ramah lingkungan dengan adanya E-book. Begitu juga dengan bertukar data dan informasi. Waktu SMA, remaja generasi saya masih menggunakan jasa pos untuk pengiriman surat. Kemudian berkembang via email (walau masih harus pergi ke warnet). Untuk data berukuran kecil seperti foto malah bisa bertukar data lewat aplikasi chat dalam hitungan detik, Sisters.
Sisters, walau sebenarnya generasi X pun tidak sedikit yang bisa mengikuti perkembangan literasi digital, generasi milenial dan sesudahnya (generasi Z) masih merupakan populasi terbesar yang tingkat melek teknologinya tinggi. Di sisi lain, hadirnya teknologi digital ini juga memunculkan dilema seperti pisau bermata dua. Bisa mendatangkan dampak positif namun juga tidak sedikit mencetuskan hadirnya efek negatif.
Dan objek yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini adalah anak-anak dan perempuan, lho. Hasil sebuah penelitian terbaru pun menunjukan kalau komposisi perempuan sedikit lebih besar dari laki-laki dalam hal penggunaan internet (51%). Walaupun validitasnya masih harus dibuktikan karena tidak sedikit akun-akun pengguna sosmed yang abal-abal. Mengaku gender perempuan tapi sebenarnya bukan. Media sosial ini juga masih merupakan alasan terbesar kenapa banyak penduduk Indonesia mengaksesnya.
Nggak salah kalau akses media sosial jadi alasannya. Tapi \kalau tidak bijak memanfaatkannya bukannya mendatangkan manfaat tapi malah jadi sumber masalah. Dengan media sosial kita bisa terhubung lagi dengan teman-teman lama, membangun jejaring dengan mereka yang mempunyai minat yang sama untuk hal-hal positif tapi disisi lain adanya media sosial bisa menjadikan yang dekat jadi jauh, hoax alias berita bohong jadi lebih mudah menyebar, ribut-ribut di media sosial hanya karena beda pendapat dan ini nih, fitnah atau sumpah serapah yang bisa menyeret seseorang tersangkut kasus hukum.
Masih inget kan kasus pemilik akun Path yang misuh-misuh di statusnya? Kalau sudah begini yang rugi ya Mbaknya yang punya akun path yang heboh itu tadi, Sisters. Makanya, pikir lagi sebelum memosting sesuatu di media sosial. Jangan sampai membuat kita jadi sosok ‘public enemy’ karena emosi sesaat. Dunia sosial media terlalu sempit dan mubazir kalau hanya digunakan untuk hal-hal seperti itu.
Padahal di sisi lain akun medsos bisa kita manfaatkan untuk memviralkan gagasan atau ide dana sosial. Cerita penjual amplop yang entah berapa keuntungannya, penjual makanan yang sudah sepuh dan masih saja berjualan sampai larut malam, bisa menarik simpati warganet untuk beramal. Mengajak mereka ramai-ramai membeli jika menjumpai situasi serupa, atau menyumbang sampai kampanye wisata Indonesia agar memenangkan festival di Internasional misalnya. Nggak susah kan, kita manfaatkan untuk hal-hal positif seperti ini?
Sumber Info: Kemen PPPA RI - serempak.id