KARTINI. Satu kata yang terbesit dalam pikiran yang menggambarkan sesosok wanita yang anggun namun tangguh dalam memperjuangkan apa yang harus didapatkan seorang wanita Indonesia. Menjadi salah wanita bangsawan bukan menjadikan pahlawan wanita itu berdiam diri dengan ketidakadilan yang didapatkan di eranya. Dimana wanita pribumi tidak mendapatkan pendidikan dan hak untuk bersuara. Terkadang bersuara tetapi seakan tak terdengar. Wanita selalu dipandang sebelah mata. Bahkan tanpa disadari mereka tak hanya menjadi budak kolonial Belanda akan tetapi budak di keluarganya sendiri. Dengan tekadnya, beliau mengubah segalanya, agar wanita mendapatkan hak yang sama dengan kaum adam yaiatu kesejahteraan untuk dirinya baik saat ini, nanti hingga kelak.
Meski beliau telah tiada, akan tetapi semangat dan jiwa – jiwa Kartini masih mengembara di lubuk hati wanita Indonesia. Hingga pada saat ini, kami masih menuntut hak yang sama diberikan kebebasan untuk memilih hal yang terbaik dan mendapatkan dukungan yang sama dengan kaum laki – laki. Walaupun, masih ada beberapa wanita yang mendapatkan diskriminasi dari pria. Hal ini sering kali terjadi di wilayah – wilayah Indonesia yang kurang mendapatkan fasilitas pendidikan baik berupa sarana maupun prasarana, budaya pernikahan dini dan banyaknya presepsi yang mengatakan bahwa wanita hanya untuk didapur tidak perlu berpendidikan tinggi.
Padahal, wanita sangat perlu berpendidikan tinggi apalagi di era globalisasi yang dituntut dengan segala sikap dan penelaahan mengenai informasi – informasi yang belum tentu kebenarannya, kemajuan teknologi dan pergaulan yang terbilang cukup bebas di kalangan remaja contohnya free sex,penyalahgunaan narkotika, pelecehan, dan sampai tindakan kriminalitas yang mungkin berujung pada kematian. Makin terlihat mirisnya moral bangsa kita bukan? Jika saja wanita memiliki pendidikan yang tinggi atau pendidikan yang layak maka angka kejadian hal – hal yang demikian bisa diminimalisir.
Kurangnya pendidikan juga mengakibatkan wanita dari kalangan menengah ke bawah menjadi sasaran yang baik oleh oknum – oknum tertentu karena mereka tidak dapat membela akan diri mereka sendiri. Takut. Angapan lemah tak berdaya masih terngiang dipikiran kaum adam. Untuk memilih atau membuat keputusan akan dirinya saja masih menggantung orang lain dan banyak orang sebagai pengambil keputusan. Inilah pentingnya pendidikan bagi wanita Indonesia.
Memberikan pendidikan yang tinggi dan layak merupakah salah satu cara untuk memberdayakan wanita. Wanita yang cerdas akan mengambil langkah tegas dan mantap setelah menelaah resiko yang didapatkan sebelumnya bukan menjadi pasrah dan tak bisa memilih. Setidaknya, wanita bisa mengeluarkan pendapat apa yang paling mereka butuhkan. Ini merupakan salah satu tugas kita para generasi millenial dalam memberdayakan wanita melalui pendidikan. Jika saja satu wanita mengajak atau mengajarkan bagaimana pentingnya pendidikan kepada satu wanita lainnya dan wanita itu mengajak satu wanita lagi. Berapa banyak wanita yang akan sadar hal tersebut? Tentu banyak sekali. Tindakan yang mudah tetapi berdampak besar dan luas. Kita bisa mendobrak atau meruntuhkan budaya – budaya dan presepsi yang tidak menguntungkan bagi wanita.
Sebagai generasi millenial seharusnya kita lebih menimbulkan sifat membantu bukan apatis melihat hal – hal didepan mata terhadap kehormatan wanita yang sering kali terinjak – injak terlebih lagi yang lebih parah menjadi pemuas nafsu kaum adam. Maka dari itu, marilah kita menjadi generasi millenial yang berbeda sebagai pioner – pioner kartini di masa depan dan membantu wanita Indonesia senantiasa mendapatkan haknya dan untaian senyum di wajahnya dalam meraih mimpi.