Hai Sisters! Buat kamu yang kudet alias kurang update dengan tren media sosial akhir-akhir ini, Om Telolet Om adalah kalimat yang berupa permintaan pada supir bus-bus yang melintas di jalan untuk membunyikan klakson mereka.
Biasanya sih yang meminta adalah anak-anak yang tinggalnya di sekitar jalur Pantura yang memang sering dilintasi bus-bus yang membawa penumpang lintas jalur Pantai Utara Jawa, Sisters. Tetapi fenomena ini sudah menyebar, sampai-sampai remaja dan dewasa juga ikut-ikutan minta di-telolet-in.
Diklakson kok malah senang?
Soalnya bunyi nyaring klaksonnya khas banget, dan terdengar seperti mengucapkan kata telolet. Kadang malah ada bus yang bunyi klaksonnya dimodifikasi sehingga bukan berbunyi telolet lagi, tapi melantunkan nada-nada lagu yang familiar atau terkenal. Ada yang klaksonnya berbunyi seperti lagu dangdut, lho!
Mendengar suara klakson yang demikian membuat anak-anak menjadi senang. Mereka bahkan rela menunggu di pinggir jalan sampai ada bus yang melintas. Bahkan sampai ada yang membawa tulisan Om Telolet Om untuk ditunjukkan ke supir bus, supaya permintaan mereka dikabulkan. Ada juga yang membawa kamera dan handphone agar bisa merekam bus melintas yang membunyikan klakson telolet.
Sejak kapan sih Fenomena Om Telolet Om ini?
Setelah diusut, ternyata fenomena menunggu dan memburu suara nyaring telolet ini bukan hal baru, tapi sudah terjadi sejak beberapa tahun silam, sekitar 5-6 tahun lalu. Menurut cuitan Farchan Noor Rachman, travel blogger dengan akun media sosial @efenerr, fenomena telolet ini sudah sempat ramai di Youtube sekitar 2 tahun lalu dan di Facebook tahun lalu, sehingga bisa dibilang keramaian Om Telolet Om yang kali ini viral di Twitter cukup terlambat.
Melalui cuitan-cuitannya, Farchan berbagi kalau fenomena telolet ini sebenarnya ajang bus-bus pelintas Pantura dari Kudus sampai Jepara saling beradu agar lebih menonjol dari pesaingnya. Selain merias busnya, para pemilik bus melakukannya dengan memilih melodi unik untuk digunakan sebagai klakson.
Ada-ada saja ya, Sisters.
Foto: kompas.com / Syahrul Munir