Jika ada pertanyaan siapa perempuan muda inspirasiku, barangkali aku kesulitan memilih satu di antara banyak perempuan muda yang menginspirasiku, Sisters.
Disadari atau tidak, perempuan muda yang menginspirasi itu hadir di alam bawah sadar. Mereka seolah berbisik bahwa aku bisa melewati semua ini dengan baik-baik saja.
Bukan kehidupan yang dipermudah, melainkan keyakinan yang diperkuat.
Menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa doktoral, pengajar, editor, dan juga pengusaha yang baru merintis dari bawah, aku sering mempertanyakan apa yang sedang aku cari, apa yang sedang aku perjuangkan, atau apa yang sedang aku coba wujudkan. Pertanyaan ini berkelindan dan mengusik keyakinanku, Sisters. Membisiki bahwa kaki yang menapak pada dua kapal yang berbeda akan sulit mencapai tujuan besar.
Aku sedang menjalani banyak hal dalam satu waktu, sedangkan ada banyak hal besar yang ingin aku wujudkan di luar sana. Lantas bagaimana?
Dalam kondisi seperti inilah, aku butuh orang lain untuk menguatkan sekaligus menambah keyakinanku. Bahwa asalkan yakin segala sesuatu bisa dikerjakan; bahwa hal-hal besar tidak bergantung pada jumlah kaki yang menapak pada satu kapal, tetapi seberapa kuat pijakan kaki tersebut. Oleh karena itu, bolehlah jika aku menyebutkan beberapa orang di antara banyak-banyak orang yang secara tidak langsung menguatkanku, Sisters.
Jika sedang lelah menghadapi kehidupan perkuliahan atau kegiatan akademis lain, aku selalu mengingat sosok Mbak Sarasvati Dewi atau biasanya dipanggil Mbak Yayas. Beliau meraih gelar doktornya dari Departemen Filsafat UI pada usia 29 tahun dan sempat menjabat sebagai Ketua Program Studi Filsafat UI. Beliau pun seorang pengajar yang baik. Beliau akan selalu berada pada garda terdepan ketika masalah ketidakadilan—utamanya perihal gender—terjadi. Bagiku, perjuangannya mengajarkan bahwa semua hal akan berakhir baik jika dimulai dengan sesuatu yang baik.
Di sisi lain, menjadi editor adalah cita-cita semenjak duduk di bangku SMP. Sosok yang menginspirasi perjuanganku menjadi editor adalah Mbak Windy Ariestanty, mantan Pemimpin Redaksi Gagas Media. Beliau adalah orang pertama yang aku ceritakan pada ayah ketika merancang cita-cita setelah lulus SMA. Karena sosok beliau, ayah memberikan izin untuk mengambil jurusan sastra ketika kuliah S1. Barangkali terlihat sepele, tetapi aku harus berterima kasih pada Mbak Windy yang menginspirasiku di suatu acara. Hasilnya? Aku bisa mencintai sastra sampai sejauh ini.
Lantas, bukan berarti perempuan muda yang menginspirasiku berhenti pada dua orang di atas, Sisters. Melalui tulisan ini, aku juga ingin berterima kasih kepada banyak perempuan muda di luar sana yang tak pernah berhenti berkarya. Pada perempuan muda yang bisa memutuskan untuk menjadi diri sendiri tanpa dibebani oleh mitos kecantikan atau konstruksi sosial. Pada mereka yang selalu menyimpan sejuta kebaikan dalam hatinya tanpa pernah ingin menebar kebencian. Dan, pada mereka yang sedang berjuang mati-matian mewujudkan mimpinya, apa pun itu. Termasuk kamu, Sisters.
Siapa pun itu, aku patut berterima kasih karena suatu saat pasti aku akan bertemu dengan mereka yang sedang berjuang mencapai cita-citanya yang bermanfaat bagi orang lain.
Satu hal lagi, menjadi perempuan muda yang berkarya tidak perlu menjadi orang besar terlebih dulu. Cukup melakukan hal-hal kecil yang membahagiakan orang-orang sekitar dengan hati yang besar.
#SisterMudaBerkarya
Foto: Instagram / Windy Ariestanty