Sebelumnya: Pesona Sejarah Kota Tua Jakarta dalam Secangkir Teh (1/2)
Setelah blusukan di Pecinan Jakarta, pasukan penjelajah SisterTrip blusukan lebih dalam lagi ke jantung Pecinan Jakarta, yaitu Petak Sembilan, suatu kawasan yang menunjukkan pertemuan budaya dan agama.
Pertemuan budaya dan agama di Petak Sembilan
Pasukan pink Sisters pun mampir di Kelenteng Toa Sai Bio, asal nama “Jalan Toasebio” yang kemudian berganti menjadi jalan Kemenangan. Dari kelenteng ini, kami menyusuri jalan, melewati Gereja Santa Maria de Fatima yang unik, karena bentuk fisiknya yang menyerupai kelenteng. Memang bangunan ini dahulunya menjadi kediaman Letnan Tionghoa bernama Tjioe. Setelah Tiongkok dikuasai Partai Komunis, sekelompok rohaniawan Katolik dari ordo Jesuit terpaksa meninggalkan Tiongkok dan sebagian pun sampai di Jakarta. Mereka membeli gedung ini dan menjadikannya sebuah gereja Katolik Roma. Karena di halaman Gereja sedang berlangsung perayaan rangkaian Paskah, maka kami tak dapat mengamatinya dari dekat. Mungkin di lain waktu kami bisa bertandang, pun mampir mencicipi hidangan khas Betawi nasi ulam di warung pak Misjaya di dekat sana!
Akhirnya kami pun tiba di kelenteng tertua di Jakarta yaitu Jin de Juan, atau kelenteng Dharma Bakti yang didirikan di tahun 1650 dan sudah menjadi saksi atas berbagai peristiwa sejarah dan bertahan melampaui berbagai pengrusakan dan musibah kebakaran. Di tahun 1740 kelenteng ini dirusak dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh penguasa Belanda yang menelan korban sekitar 10.000 jiwa, dan kelenteng inipun “dilahirkan” kembali setelah pemugaran dengan nama Kim Tek Ie atau “kelenteng Kebajikan Mas.” Tragedi pembantaian inipun melahirkan beberapa nama yang kita kenal sampai sekarang yaitu “Angke” (dari “bangke” atau jenazah para korban yang terapung di sungai) juga “Gunung Sahari” (karena dalam sehari tumpukan jenazah korban menggunung).
Di tahun 2015 terjadi kebakaran besar yang melalap kelenteng bersejarah ini, namun usaha pemugaran telah dimulai dan kami pun dapat mengabadikan kunjungan ini di dalam kelenteng. Beberapa pengunjung yang beribadah tampak berdoa di depan lilin-lilin do’a dan melepaskan burung-burung kecil dari kandang di halaman kelenteng sebagai bagian dari tradisi. Tersembunyi di sudut halaman, tembok berhias mural batu yang indah mempesona!
Dari kelenteng Dharma Bakti para Sisters menyusuri jalan Kemenangan menuju jalan Pancoran. Rasanya ingin sekali kami mampir dan menawar sayur dan buah-buahan segar di sepanjang jalan!
Glodok, Pusatnya Pecinan Jakarta
Nama Glodok pernah berjaya bukan hanya sebagai pusat perdagangan barang elektronik namun juga menjadi patokan harga dan otomatis menentukan denyut perekonomian negeri. Walau kita semua memahami Glodok sebagai pusatnya Pecinan di Jakarta, namun sedikit yang mengetahui bahwa warga Tionghoa sudah bermukim di daerah ini jauh sebelum Batavia didirikan, yaitu ketika daerah pesisir ini dikenal sebagai bandar Sunda Kelapa. Kehadiran mereka selama berabad-abad mewarnai kebudayaan setempat, namun kerap pula dianggap sebagai ancaman oleh penguasa, sehingga memicu peristiwa pembantaian di tahun 1740 oleh pemerintah Belanda, dan juga tekanan oleh pemerintah Indonesia semasa Orde Baru. Sejak Keppres no 6/2000 di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ekspresi budaya Tionghoa tidak lagi dilarang, dan perayaan hari-hari istimewa seperti Imlek (Tahun Baru) maupun Cap Go Meh pun menjadi bagian dari tradisi kota Jakarta.
Kami pun beringsut mendekati perhentian terakhir SisterTrip hari ini, yaitu rumah teh Pantjoran. Melewati gang Gloria yang tersohor dengan warung kopi es Tak Kie, rumah-rumah obat sepanjang jalan dan juga manisan serta buah-buahan, kami pun disambut mbak Sisca serta staf Pantjoran yang ramah dengan minuman dingin yang terasa menyegarkan setelah berjalan selama 2 jam di bawah panas terik matahari.
Pantjoran Tea House ini merupakan hasil renovasi Apotheek Chung Hwa yang berusia 80 tahun lebih yang juga bagian dari peremajaan Kota Tua dimana sejumlah gedung bersejarah “diselamatkan” dan dipugar. Sambil mengagumi gedung tua yang menawan ini, kami menikmati menu makan siang Peranakan Cina yaitu buncis sapi cincang dan ayam cah jamur, ditemani dengan 3 teh pilihan yaitu chrysanthemum, Phu Earl (keduanya berasal dari Cina), serta Fine Flowery, teh premium asal Indonesia. Kami berkenalan dengan sejarah teh yang dibawa ke Indonesia lebih dari 3 abad lalu oleh Andreas Cleyer, seorang ahli botani dari Belanda, diabadikan dalam tradisi minum teh oleh warga Tionghoa yang tinggal di daerah ini, serta diinspirasi keluarga Kapiten Gan Djie yang menjadikan teh salah satu ikon budaya Pecinan di Jakarta. SisterTrip ini ditutup dengan nge-teh bersama di rumah teh Pantjoran (yang baru buka 2 hari!).
Para pecinta sejarah, budaya, dan jalan-jalan, bersiaplah untuk SisterTrip berikutnya! Pendaftaran sudah dibuka: Menteng, A Trip To The Past
Inggita Notosusanto, trip leader Kota Tua SisterTrip, disarikan dari penuturan mas Ahmad Sofiyan dan dokumentasi Pantjoran Tea House.
Tripsista.com