Sisters, You only live once (YOLO) menjadi salah satu simbolisasi yang lekat dengan generasi milenial yang besar di era digital. Namun, bicara soal pengeluaran alias belanja, sejauh apa spirit gaya hidup ini dipahami dan dijalani oleh para generasi milenial? Benarkah mereka lebih rela keluar uang, bahkan berutang, untuk traveling daripada mencicil untuk beli rumah atau apartemen? Lebih suka menyeruput kafein dengan harga berkali lipat di kedai-kedai kopi kekinian daripada berinvestasi?
Menurut pengamat konsumen & pakar marketing Yuswohady, ada fakta unik yang menjadi benang merah antara euforia generasi Y dengan media sosial. Terutama karena sebagian dari generasi ini masih berada dalam kategori digital migrant atau peralihan, bukan digital native seperti generasi Z yang murni lahir dan besar di era digital.
Banyak maunya, tapi sumber terbatas
Beberapa kaum milenial mengakui bahwa mereka sering kali susah menahan diri untuk tidak menghabiskan uang dengan berbelanja di mal. Apalagi jika sedang ada diskon besar-besaran.
Tapi kita tidak boleh menghakimi dan menggeneralisasi sikap para milenial, terutama dalam persoalan kebiasan berbelanja, Sisters. Karena secara psikologis para dewasa muda usia 20-an ini sedang merayakan kebebasan finansial mereka. Di kondisi budaya Indonesia, di usia tersebut mereka telah mandiri secara finansial, tapi kebanyakan masih hidup dengan fasilitas orang tua, apakah itu tempat tinggal, makan, atau transportasi. Kondisi inilah yang mendorong mereka untuk membelanjakan uangnya secara lebih bebas. Sehingga, pengeluaran pun membengkak.
Sebenarnya, prinsip YOLO bukan dominasi generasi milenial saja, Sisters. Mereka yang tumbuh di era flower generation juga mengadopsi konsep hidup yang sama.Yang menjadi garis dasar dan pembeda terhadap perilaku belanja ini adalah karakter dari masing-masing pribadi, bukan masalah generasi.
Seseorang yang memiliki konsep diri yang benar dan mengalami tahapan perkembangan psikososial yang normal akan memakai media sosial sebagai justifikasi dan afirmasi dari dirinya yang sesungguhnya, atau true self.
Pada individu yang penghayatan dirinya masih negatif, media sosial menjadi cara atau alat untuk membangun konsep ideal tentang diri, bahwa dirinya sebaik apa yang ia harapkan. Di sinilah media sosial berubah peran menjadi alter-ego, Sisters, dan dampaknya adalah jebakan hiper-realitas.
Bagaimanapun, penghayatan yang positif tentang diri ini tidak terjadi secara instan, tapi melalui proses. Bahkan, terkadang dibutuhkan bantuan ahli, seperti psikolog. Namun, tiap orang bisa mengawalinya dengan membenahi gaya hidup, dan menjaga agar inferioritas atau perasaan diri kecil terkompensasi dengan cara yang benar. Apakah itu dalam bentuk prestasi, kepedulian sosial yang berdampak positif bagi orang-orang di sekelilingnya.
Nah, Sisters, apakah kamu termasuk dalam generasi halu yang sering kali terjebak hiper-realitas media sosial?
Sumber artikel: http://bit.ly/MillennialdanJebakanHiperealitas