Hai Sisters, pernahkah kamu mendengar cerita pahlawan? Sama halnya dengan seorang perempuan bernama Razan al-Najjar, 21 tahun, yang ditembak mati oleh tentara Israel saat dia lari menuju pagar perbatasan untuk menolong korban yang terluka di Gaza, 1 Juni 2018.
Kematian perempuan relawan itu memicu duka, tak hanya di Palestina, tapi juga di seluruh dunia. Sisternet ingin memperkenalkanmu dengannya, yuk, simak beberapa rangkuman di bawah ini!
Siapa Razan al-Najjar?
Razan adalah seorang perawat yang bekerja secara sukarela untuk Palestinian Medical Relief Society (PMRS). Dia bekerja di area yang hanya beberapa ratus meter dari rumah keluarganya, Sisters.
Sebelumnya, beberapa media pernah mewawancarai perempuan berusia 21 tahun ini. Salah satunya adalah mengenai kenapa dia mau ikut terjun ke medan konflik? "Saya akan merasa sangat malu kalau saya tidak ada untuk (membantu) warga Palestina. Sudah menjadi tugas dan kewajiban saya untuk ada di sini dan membantu mereka yang terluka," kata Razan dalam wawancaranya dengan Al Jazeera pada bulan April 2018.
Dia sendiri sebelumnya pernah terluka, Sisters, pingsan dua kali karena menghirup gas. Pada 13 April, dia cedera di bagian pergelangan kaki saat jatuh ketika berlari menuju pendemo yang terluka.
Detik-detik saat Razan ditembak
Razan ditembak saat sedang lari menuju pagar perbatasan di dekat Khan Younis, Gaza, 1 Juni 2018. Dia sedang berusaha menolong korban yang terluka. Mengenakan baju putih, seragam paramedis, "Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan sangat jelas, tapi tentara Israel menembak dan dia tertembak di dada," kata seorang saksi yang minta namanya dirahasiakan kepada kantor berita Reuters.
Saksi lain bercerita bahwa Razan awalnya tidak sadar bahwa dia sudah tertembak. Saat peluru telah tembus ke punggung, dia baru sadar dan berkata "Punggungku, punggungku!" kemudian dia jatuh ke tanah. Sedih sekali, Sisters.
Mustafa Barghouti, Presiden PMRS, menjelaskan bahwa Razan ditembak di dada, meskipun dia jelas-jelas mengenakan rompi putih berlambang bulan sabit dan palang merah, dan lambang PMRS yang menandakan bahwa dia bagian tim medis yang tidak boleh ditembak.
Pemakaman
Razan dimakamkan pada Sabtu, 2 Juni 2018. Jenazah Razan dibawa melewati jalanan Gaza dengan dibungkus bendera Palestina. Ayahnya membawa jaket medis Razan yang berlumuran darah.
Ribuan orang yang berduka dan marah, menyertai iring-iringan dan penguburan. Kementerian Kesehatan Gaza menyebut Razan sebagai martir, yang mati syahid.
Kekerasan di Gaza
Razan menjadi korban tewas ke-119 dalam demonstrasi yang dimulai pada 30 Maret, dan telah berubah jadi kekerasan berdarah di perbatasan Gaza-Israel. Sejak 30 Maret, warga Palestina berdemo untuk meminta hak pengungsi Palestina untuk pulang ke tanah leluhurnya, yang sekarang ada di dalam kekuasaan Israel.
Konflik mencapai puncaknya pada 14 Mei lalu ketika setidaknya 61 warga Palestina terbunuh. Pendemo yang datang pada hari Jumat ketika Razan terbunuh sebenarnya lebih sedikit daripada demo pekan sebelumnya. Tapi pendemo diperkirakan akan bertambah seiring dengan peringatan pengambilalihan jalur Gaza, Tepi Barat dan Jerusalem Timur oleh Israel pada 1967.
Ratusan orang membutuhkan perawatan akibat luka tembak dan luka karena amunisi lainnya, sementara sistem kesehatan lokal telah terlalu banyak bekerja dan tertekan.
Perang memang sudah tidak bisa dihindari lagi di belahan dunia lain, Sisters, maka dari itu hendaknya kita selalu bersyukur akan keadaan kita sekarang. Yang pasti kita sama-sama doakan, yuk, buat saudara-saudara kita yang berada di wilayah konflik.